Senin, 19 November 2012

Dualisme Struktur Sosial Minangkabau

Dalam mengskemakan struktur sosial masyarakat Indonesia. Levi Strauss menunjukkan bahwa struktur sosial Indonesia sedikit lebih komplek dibandingkan dengan struktur sosial yang dimiliki masyarakat Winnebago maupun masyarakat Omarakana. Kalau dalam masyarakat Winnebago pembagian kelompok hanya berimplikasi pada aturan perkawinan yang dibolehkan dan yang dilarang. Maka dalam struktur sosial Indonesia, larangan perkawinan tidak saja mengatur hubungan antar kelompok, tetapi juga mengatur pembagian di dalam kelompok itu sendiri, yang kemudian berimplikasi pada pola hubungan antar kelompok. Tegasnya dalam struktur sosial Indonesia, kita tidak hanya dihadapkan pada pengelompokan berdasarkan klan, tetapi juga dihadapkan dengan aturan pengelompokan berdasarkan klan, tetapi juga dihadapkan dengan aturan pengelompokan klas-klas perkawinan yang tidak didasarkan pada tempat tinggal (non-residential marriage classes) seperti lihat pada gambar berikut: diagram diatas mengimplikasikan : pertama, adanya dikotomi antar jenis kelamin yang diberlakukan dalam klas-klas ini, dimana antara saudara laki-laki dan saudara perempuan dianggap memiliki perbedaan perlakuan yang mereka terima tentang ikatan perkawinannya baik dari klan mereka sendiri maupun dari keluarga pasangannya. Dalam diagram, fungsi dikotomi ini diekspresikan dengan garis cabang 3 yang membagi setiap kelompok kedalam dua bagian yaitu laki-laki (M) disatu sisi dan perempuan (F) disisi lainnya. Kedua, dalam sistem ini, menempatkan kediaman atau tempat tinggal tidaklah penting, sehingga lingkaran besar bukanlah mempresentasikan desa atau pemukiman, tetapi mempresentasikan kemungkinan-kemungkinan perkawinan antara laki-laki di satu kelompok dengan wanita di kelompok lainnya. Pada diagram diatas juga terlihat bahwa terjadinya sebuah hubungan antara elemen-elemen diametrik (pembagian jenis kelamin dalam klas) berdasarkan oposisi binary dengan elemen-elemen konsentrik (pembegian kelompok yang tidak berdasarkan desa atau pemukan) yang juga bersifat oposisi binari. Skema tentang struktur sosial Indonesia yang dibuat oleh Levi-Strauss diatas ada kecenderungan memiliki argumentasinya pada kasus Minangkabau. Dimana digambarkan bahwa masyarakat Minangkabau sebenarnya terdiri 2 molety yang tercermin dari ke-laras-an yang dimilikinya yaitu laras Koto Pilang dan laras Bodi Caniago, dengan 4 phratri yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Dari keempat phratri inilah kemudiaan klan-klan Minangkabau terbentuk dan membelah diri yang kemudian menyebar di daerah luhak maupun di daerah-daerah rantau. Mengikuti pemikiran Levi-Strauss maka gambaran tentang struktur sosial Minangkabau lebih bersifat dualisme yang konsentrik. Hal ini ditunjukkan dengan pola pembagian kelompok yang sifatnya genap namun batas pembagiannya lebih bersifat imaginer. Namun secara implisit, gambaran tersebut juga mengisyaratkan akan sifat triadik dalam masyarakat Minangkabau yang ditunjukkan dengan adanya pembagian 3, seoerti tergambar dengan adanya 3 luhak (Luhak nan Tigo), 3 tokoh masyarakat (Tigo Tungku Sajarangan), 3 pemimpin utama yaitu Raja alam, Raja Ibadat, dan Raja Adat (Raja Tigo Selo), 3 warna bendera (hitam, merah dan kuning), dan sebagainya. Walaupun adanya dikolami yang cenderung berseberangan (bereposisi), namun menurut josselin de jong satu sama lain justru terjalin secara seimban, karena yang satu tidak dapat hidup tanpa keberadaan yang lain, sehingga memunculkan ”perseteruan dalam persatuan” kalau memang benar bahwa dualisme dalam masyarakat Minangkabau lebih mencerminkan sifat triadik, maka mengikuti pemikiran Levi-Strauss, berarti ada elemen ketiga yang menghubungkan antara dua elemen opsisi (dikotomi) yang secara empirik sering muncul dalam masyarakat Minangkabau. Dalam banyak gambaran tentang kajian Minangkabau, 3 Luhak yang ada di masyarakat Minangkabau sebenarnya adanya cerminan dari dua molety (laras) yang ada dalam masyarakatnya, yaitu laras Koto Pilang dan laras Bodi Caniago. Luhak agam mempresentasikan laras Bodi Caniago yang memiliki pola politik demokratis, Luhak 50 kota merepresentasikan Laras Koto piliang yang memiliki pola politik aristokratis, sementara luhak tanah Datar mempresentasikan kedua laras yang ada (laras Koto Pilang dan laras Bodi Caniago). Apabila diasumsikan kedua laras yang ada dioposisikan secara sama, maka secara teoritis menurut Levi Strauss, ada kemungkinan Leras Semu (tersembunyi) yang sifatnya mampu menetralisir pertentangan antara kedua laras tersebut. Munculnya kedua laras dalam masyarakat Minangkabau, tidak bisa dipisahkan dengan kepribadian dan pola kepemimpinan antara dua nenek moyang pendahulu Minangkabau yang akhirnya menciptakan aturan adat (lereh) di masyarakat Minangkabau tersebut, yaitu Perpatih nan Sabatang yang menciptakan lereh Bodi Chaniago dan Datuk Katamenggung yang menciptakan Lereh Koto Piliang. Kalau dua nenek moyang ini dianggap mewakili dua elemen belahan laras yang ada. Akhirnya mampu digambarkan bahwa kedua datuk ini selalu berseberangan, bahkan sampai melakukan ”perang batu”dan ”perang senjata (keris atau bedil)”, tetapi kemudian akhirnya mampu menyatukan dua pertentangan yang ada sehingga terlihat harmoni. Proses pembentukan sebuah nagari ataupun kampung di masyarakat Minangkabau ada keecenderungan sebagai hasil proses yang mewakili dua moiety (laras) yang ada. Akhirnya keberadaan pengelompokan masyarakat dalam nagari ataupun kampung tidak selalu mencerminkan satu laras saja. Disini digambarkan khususnya nagari selalu dibentuk oleh minimal 4 klan, namun keempat klan yang ada kecenderungan mewakili dua molety (laras) yang ada di Minangkabau. Artinya tidak memungkinkan apabila sebuah nagari dihuni oleh 4 klan dari satu laras saja. Namun dalam pandangan dualisme (struktur triadik) di atas adalah hal yang ganjil apabila sebuah nagari terdiri pengelompokan genap(4 klan). Artinya pengelompokan berkemungkinan akan ganjil atau kalaupun genap, berkemungkinan ada ”kelompok semu” yang bersembunyi yang menyelinap dan menetralisir pengelompokan genap ini. Menurut Josselin de Jong, sebuah klan atau klan dalam masyarakat Minangkabau ada kecenderungan tidak terbentuk dari satu phirety saja atau hanya mewakili satu phratry saja. Jadi proses pembentukan klan baru dilakukan dengan cara membelah diri klan awal untuk kemudian memasukkan unsur baru dalam klannya yang berasal dari nilai-nilai klan laki yang beroposisi dengan phratry klannya, misalnya, ketika klan baru terbentuk dari phratry Chaniago, maka klan baru ini ada kecenderungan tidak mewakili sepenuhnya phratry(bisa dari Bodi, dari Koto atau dari Pilang). Bahkan secara tegas Joselin de Jong mengatakan bahwa ada kecenderungan klan baru ini tidak mengambil unsur dari Chaniago tidak memasukkan nilai-nilai dari Phratry Bodi dalam klan barunya, tetapi hanya nilai-nilai dalam phratry Koto atau piliang saja dimasukkan. Salah satu pola yang ditemukan misalnya dengan menggunakan kampung dimana mereka berasal pada awalnya, atau nama kampung dimana kemudian mereka menetap. Klan Kampai misalnya, adalah salah satu belahan dari piliang yang pada awalnya mereka menampakkan diri sebagai Pilliang Kampai yang artinya klan Pilang dari kampung Kampai. Namun kemudian hari nama Pilang dihilangkan sehingga hanya disebut dengan Kampai saja, sehingga mengikut begitu saja dari klan awal yaitu Piliang. Upaya menghilangkan identitas klan awal ini juga dilakukan dengan cara penggabungan dari beberapa klan yang ada. Pola pembentukan klan baru seperti ini menurut Josselin de Jong adalah hal yang biasa dalam masyarakat Minangkabau. Ada kecenderungan, pola seperti ini dilakukan secara sengaja untuk menghilangkan identitas klan awalnya. Upaya menghilangkan identitas awal ini sebagai strategi untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka memang berbeda dengan yang lain, termasuk dengan klan awal sehingga exixtensi klannya sepenuhnya bisa disejajarkan dengan klan awal. Jadi disini akhirnya tidak ada perbedaan antara klan awal dengan klan belahan berikutnya, perbedaan hanya akan ditunjukkan pada pengakuan diri sebagai pendahulu (panruko) disebuah areal. Untuk itu maka dalam tataran empirik hanya sedikit ditemukan sebuah klan yang langsung menyadur nama klan awalnya. Pembelahan klan yang berasal dari 4 phretri (klan awal) yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Caruago, kemudian menciptakan nama-nama klan yang cenderung beragam yang dikemudian hari semakin sulit untuk diidentifikasi bahwa mereka berasal dari salah satu phratri yang ada. Hal ini karena kebersamaan antara klan-klan awal yaitu Bodi, dan Chaniago, serta Koto dan Piliang telah cukup akrab dengan pola ini sebelumnya, sehingga secara bertahap mengalami perluasan dalam sejumlah kampuang, sehingga pergantian posisi sering terjadi. Keempat klan ini merasa sebagai kesatuan yang tidak terpisah, sehingga secara otomatis keempatnya dianggap milik bersama walaupun terbelah menjadi dua kelompok berbeda (phratri) inijuga mungkin menjadi alasan, mengapa kampuang menggunakan nama-nama asing yang begitu menyolok, bahkan nama-nama seperti melayu dan Mandailing juga dipakai dalam penamaan kelompok mereka ini adalah penyimpangan namun menyajikan sebuah kenyataan yaitu memanifestasikan ’semua menjadi satu – pertentangan dalam kesetiaan – permusuhan dalam pertemanan’ artinya klan-klan awal (Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago) dianggap sebagai milik bersama, sehingga penyatuan antar phratri yang ada semakin memperluas pengelompokan masyarakat ini juga menunjukkan akan perlunya dinamika sebagai salah satu upaya mengatasi dikotomi atau oposisi yang berkembang dalam masyarakat sehingga tidak menjadi disharmoni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar