Rabu, 21 November 2012
Interaksi Sosial Budaya Masyarakat Indonesia pada Awal Perkembangan Islam
1. Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Setempat
a. Budaya Istana
Raja adalah pimpinan tertinggi dsri suatu negara yang besar peranannya dalam masalah-masalah kebudayaannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor kekuasaan dan kekayaan yang dimilikinya. Seperti pada zaman Hindu-Buddha, raja membentuk wangsa atau dinasti sehingga raja berkuasa secara turun-temurun. Para raja pada zaman Islam disebut Sultan. Seorang sultan sangat berperan dalam hal tata pemerintahan, bangunan istana, masjid agung, macam-macam seni rupa, maka dalam perkembangan budaya nama sultan tidak terlepas dari budaya yang diciptakannya.
Tata Pemerintahan
Dalam perkembangan sejarah islam dikenal adanya khalifah, artinya pengganti setelah Nabi wafat yang bertugas mengurus negara dengan agama (bukan sebagai nabi), serta melaksanakan hukum islam dalam kehidupan negara. Seorang khalifah adalah kepala negara sekaligus kepala agama, sehingga sifatnya Caesaro papisme, seperti yang dimiliki oleh Paus dalam gereja Katolik Roma. Di bawah Khalifah ada sultan yang secara riil memiliki kekuasaan politik dan militer.
Dalam sejarah Indonesia sering disebutkan bahwa seorang raja memperoleh gelar sultan setelah mendapat persetujuan dari khalifah yang memerintah di Timur Tengah waktu itu. Raja Mataram Islam, pada mulanya hanya memakai gelar Sunan atau Susuhunan yang berarti yang dijunjung, tetapi setelah mengirimkan utusan ke Mekkah (1641) mendapat gelar Sultan Agung Honyokrosumo.
Pada perkembangan selanjutnya, raja-raja lain di Indonesia juga memakai gelar sultan sebagai tanda bahwa raja tersebut adalah seorang kepala negara dari suatu negara.
Bangunan Istana
Peninggalan-peninggalan istana dari zaman Hindu-Buddha sudah tidak ditemukan lagi, karena dibuat dari bahan yang mudah hancur (seperti kayu, bambu, ijuk) dan masanya pun telah lama berlaku. Namun tidak demikian halnya dengan bangunan istana para sultan yang umumnya dibuat dari batu bata dengan bahan semacam semen sebagai perekatnya. Atapnya sudah dari genting dan bangunannya baru beberapa abad terakhir, sehingga sampai sekarang sebagian besar masih ada wujudnya. Tata bangunannya tidak terlepas dari pengaruh teknologi Barat, karena pada saat itu telah banyak gaya arsitektur Barat yang masuk ke Indonesia.
Raja sebagai penguasa tertinggi dan sekaligus pemilik suatu negara merupakan kekuasaan sentral. Sehingga kalau terjadi perang melawan negara lain, keamanan raja merupakan masalah pokok (inti). Dengan demikian, istana sebagai tempat tinggal raja perlu diperkuat pertahanannya. Apabila istana dan rajanya jatuh ke tangan kekuasaan lain, maka hal itu berarti berakhirnya kekuasaan suatu kerajaan. Oleh karena itu, istana raja merupakan benteng pertahanan terakhir dari suatu negara atau kerajaan.
Pembangunan istana dengan bantuan para ahli Barat menyebabkan model istana mirip kastil dengan dikelilingi parit-parit yang dalam, tembok berlapis-lapis, tempat meriam, asrama militer seperti terdapat pada istana Tirtayasa (Banten) dan Keraton Yogyakarta. Di samping untuk keperluan pertahanan bagi keselamatan raja, kebesaran dan kemegahan istana juga untuk menunjunjung tinggi martabat raja terhadap raja lain maupun rakyatnya sendiri.
Masjid Agung
Sultan yang juga sebagai pemimpin keagamaan memiliki kewajiban untuk membangun sebuah masjid besar (agung) yang diperuntukkan shalat berjamaah bagi warganya dan sekaligus sebagai kebanggaannya. Masjid istana ini juga memiliki seperangkat pegawai di bawah pimpinan imam istana.
Di antara masjid agung yang terkait dengan istana adalah Masjid Agung di Yogyakarta, Masjid Baiturrahman di Banda Aceh, dan Masjid Maimun di Medan. Sementara itu, di kota-kota kabupaten juga terdapat masjid yang masing-masing memiliki rasa bangga terhadap masjidnya. Dari gaya yang berbeda-beda itu orang lebih mudah mengetahui masjid suatu kota dan daerah berbeda-beda itu orang lebih mudah mengetahui masjid suatu kota dan daerah. Untuk melestarikan masjid sebagai bangunan kuno, maka pada saat dilakukan pemugaran, keasliannya tetap dipertahankan, sehingga masjid tersebut masih tetap memiliki nilai sejarah yang tinggi. Tetapi ada juga masjid yang telah mengalami perubahan dan pembaharuan sehingga pembangunan masjid yang baru itu dianggap sesuai dengan perkembangan zaman.
Istana sebagai Pusat Budaya
Dengan kekuasaan dari harta yang dimilikinya, seorang sultan dapat berbuat banyak untuk perkembangan kebudayaan di negaranya. Istana merupakan macro cosmos dengan sinarnya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat sebagi micro cosmos. Tetapi sebagai negara yang bercorak feodal, maka pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakatnya merupakan ciri-ciri utamanya. Ada sebagian dari budaya keraton yang menjadi monopolinya, sedang masyarakat tidak dibenarkan untuk menirunya. Misalnya, ada batik-batik tertentu untuk golongan istana dan tidak dibenarkan dipakai oleh warga biasa, juga ada seni tari bedoyo yang hanya boleh ditarikan di dalam istana. Pada zaman sekarang ketentuan seperti tu sudah banyak ditinggalkan dan Sultan Hamengku Buwono IX (1912 – 1988) telah mengizinkan sejumlah budaya keraton menjadi budaya rakyat.
Perubahan yang terjadi setelah zaman Islam dalam lingkungan istana antara lain: pakaian sultan yang semula terbuka di bagian tubuhnya (telanjang dada), kemudian diubah menjadi pakaian yang menutup dadanya. Demikian pula dengan wanita istana yang semula banyak memakai pakaian kemben (penutup sampai dada), secara berangsur-angsur semkin banyak yang memakai baju tertutup sesuai dengan ajaran agama Islam.
b. Kesenian Istana
Selain budaya dalam lingkungan istana, juga berkembang kesenian yang hanya diperuntukkan bagi penghuni lingkungan istana. Pertunjukkan kesenian tersebut diselenggarakan di pendopo juga berfungsi sebagai arena pertunjukan.
Wujud kesenian istana di Jawa, seperti tari srimpi atau bedoyo ketawang yang dimainkan oleh putri-putri istana. Di samping itu pertunjukan wayang orang dengan cerita Mahabharata atau Ramayana, yang berlatar belakang adanya kerajaan yang harus melaksanakan peperangan untuk kelestarian kerajaan. Juga ketoprak yang mengandung cerita kerajaan di Indonesia.
Kesenian lainnya juga berkembang dalam lingkungan istana adalah seni sastra. Dalam perkembangan seni sastra, istana memiliki pujangga-pujangga istana yang berfungsi untuk menciptakan seni sastra yang tinggi dan sekaligus melestarikan posisi raja. Sastrawan juga agamawan asal Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Naruddin Ar-Ranniri. Sedangkan sastrawan dan istana Kasunanan Surakarta adalah R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) dengan karya-karyanya yang terkenal seperti Pustakaraja, Ajipamasa, Joko Lodang, Jayabaya, Paramayoga. Dalam perkembangan selanjutnya, pemakaian huruf Arab, juga erat kaitannya dengan sastra. Berbeda dengan huruf Pallawa dari India, huruf Arab ditulis dari kanan ke kiri.
Pada zaman wali, berkembang karya sastra yang erat kaitannya dengan masalah agama seperti kitab Suluk Bonang, prosa yang berisi ajaran agama islam dan sudah banyak mendapat pengaruh dari bahasa Arab maupun bahasa Melayu. Suluk Sukarsa berbentuk tambang (syair) dan berisi ajaran mistik Islam, Suluk Wujil berisi ajaran agama islam dari Sunan Bonang kepada Wujil (seorang bekas palayan Majapahit). Sedangkan karya sastra yang erat kaitannya dengan tata pemerinthan adalah Nitisruti, Nitipraja, dan Sastra gending merupakan karya sastra dari Sultan Agung Hanyokusumo.
Adapun ciri-ciri pertunjukan kesenian Istana adalah:
Penyajiannya serba megah , baik dalam kostum, dekorasi, alat-alat musik maupun penampilannya. Dengan kata lain kadar artistiknya tinggi. Penampilan tersebut dimungkinkan karena raja atau bangsawan istana cukup memiliki dana untuk mewujudkannya.
Istana sebagai macro cosmos memberikan pancaran ke wilayah kerajaan dan rakyatnya sebagai micro cosmos, sehingga wibawa raja sebagai pemimpin tertinggi dalam negara dapat lebih diwujudkan.
Cerita yang sering dimainkan erat hubungannya dengan masalah pemerintahan, sehingga nilai-nilai aristrokratnya menonjol. Bahwa adanya raja yang memerintah dan rakyat yang diperintahkan serting tergambar dalam pertunjukan.
Sifat pertunjukan cenderung sakral daripada sekedar pertunjukan biasa. Biasanya pertunjukan diadakan pada saat-saat tertentu yang didahului dengan suatu upacara yang bersifat magis.
c. Masjid
Kata masjid berasal dari bahasa arab yaitu “sajada” yang berarti tempat persujudan. Atau sebagai tempat umat Islam melakukan shalat. Untuk mengetahui perkembangan masjid sebagai bengunan dikemukakan tiga hal yaitu masjid tradisional, masjid makam, dan masjid modern.
Masjid Tradisional
Bentuk masjid tradisional Indonesia bersumber pada meru. Meru merupakan tempat untuk melakukan ibadah pada zaman Hindu yang masih dipergunakan hingga sekarang di Pulau Bali. Namun perbedaannya, orang yang melakukan sholat pada masjid sengan bersujud, maka memerlukan tempat yang luas. Oleh karena itu, atap tumpang pada meru perlu diperluas di bagian bawahnya, sehingga umat Islam dapat melakukan seholat di dalamnya.
Bahan bangunan berasal dari alam sekitarnya. Atap masjid tradisional berasal dari bahan ijuk dan rumbia. Susunannya bertingkat-tingkat dan dapat disebut dengan atap tumpang dan umumnya berjumlah ganjil. Bentuk atap paling atas kecil dan dibawahnya semakin bertambah besar. Atap dibuat dengan kemiringan yang cukup tinggi, dengan tujuan agar air hujan tidak mudah meresap ke dalam masjid. Di antara atap yang satu dengan atap yang lainnya terdapat jarak dengan fungsinya sebagai ventilasi, sehingga udara dalam masjid cukup sejuk pada waktu jamaah menjalankan sholat. Puncak dai atap diberi makuta (mahkota) dengan tujuan untuk menghindari kebocoran.
Dinding masjid pada umumnya memiliki banyak pintu dan berfungsi sebagai jalam masuk ke dalam dan sekaligus untuk membuat udara dalam masjid menjadi sejik. Pada dinding masjid terdapat berbagai jenishiasan kaligrafi. Kaligrafi adalah tulisan indah yang beisi ayat-ayat dari Al-Quran. Pada dinding bagian barat diberi tambahan ruangan yang disebut dengan mihrab dan fungsinya sebagai tempat imam masjid memimpin shalat. Lantai masjid merupakan tempat orang untuk melakukan sholat.
Pada awalpenyiaran agama islam, masjid-masjid tradisional di Jawa umumnya diberi pendopo. Fungsi pendopo sebagai tempat bagi anak-anak belajar membaca Al-Quran. Kentongan atau bedug merupakan bagian yang cukup penting dari masjid. Kentongan atau bedug dibunyikan sebelum seorang muadzin mengumandangkan azan sebagai tanda telah masuknya waktu sholat.
Masjid Makam
Pada zaman para wali di belakang masjid-masjid tradisional terdapat banyak makam di antaranya makam para wali atau makam para raja. Makam-makam tersebut banyak diziarahi orang hingga saat sekarang. Perpaduan masjid dengan makam ini disebut dengan masjid makam yang cukup terkenal hingga saat sekarang, seperti masjid makam Banten, Demak, Kudus, dan Sendangduwur.
Masjid makam yang dibangun pada zaman wali dianggap kramat oleh masyarakat banyak. Bahkan ada masjid makam yang didirikan di atas sebuh bukit, seperti di sendangduwur, Imogiri. Pada pintu gerbang ke makam banyak dipergunakan seni bangunan Hindu, terutama gapuranya. Dan banyak masjid makam yang mempergunakan candi bentar. Candi Bentar adalah pintu gerbang yang terbelah secara simetris tanpa atap. Ada pula yang mempergunakan padukarsa, yaitu pintu gerbang yang memakai atap. Makam-makam itu dibangun dalam ukuran-ukuran besar sehingga mengingatkan kita pada tradisi megalitikum dan menunjukkan masih kuatnya animisme. Masih kuatnya animisme terlihat pada makam-makam seperti makam Air Mata Ibu (permaisuri Pangeran Cakraningrat I, abad XVI), makam Kalpayung di Pamekasan, yaitu makam dari Pangeran Jimat (Panembahan Ronggo) dari abad XV-XVI, makam Selaparang di Lombok Timur yang memiliki nisan dengan diberi hiasan indah bertuliskan Arab, kompleks makam raja-raja Lamuru di Bone (Sulawesi Selatan). Sedangkan makam-makam raja Aceh banyak ditandai dengan batu nisan dengan hiasan yang sangat indah. Pada umumnya makam-makam islam di Luar Jawa sudah terpisah dan bangunan Masjid.
Masjid Modern
pada umumnya masjid modern sudah dibangun dengan bahan-bahan seperti genting untuk atap, dindingnya dari tembok batu bata merah, lantainya dari tegel atau keramik. Dengan bahan-bahan bangunan yang lebih kuat, disertai dengan teknologi yang tinggi, maka wujud masjid modern lebih besar. Dalam kenyataannya ada ,masjid dengan gaya tradisional, tetapi setelah mangalami pemugaran, sebagian menjadi masjid modern.
Ciri-ciri modernnya terlihat sangat nyata sekali pada atap masjid, karena memperoleh dari budaya persia atau India. Bahkan masjid modern banyak memakai kubah. Masjid-masjid modern yang dibangun sebelum Indonesia merdeka di antaranya masjid Baiturrohman di Banda Aceh dan Masjid maimun di Medan. Suatu ciri menonjol dari Masjid Modern yatu telah dilengkapi dengan menara yang berfungsi sebagai tempat para muazin mengunamndangkan azan. Sedangkan masjid modern yang dibangun setelah Indonesia merdeka seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta, di bekas benteng Belanda di bangun masjid Istiqlal. Pada tahun 1980-an di Makassar dibangun Masjid Al-Markaz Al Islami. Pada masjid modern tidak dikaitkan dengan makam sehingga tidak timbul rasa angker, bahkan masjid sekolah (madrasah), majelis taklim (pengajian), balai pertemuan, tempat seminar atau ceramah.
2. Perbandingan Bentuk Pengaruh Islam di Berbagai Daerah
Pengaruh agama dan kebudayaan Islam lebih tersebar luas pada daerah-daerah yang belum banyak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu. Di daerah-daerah tersebut, Islam mempunyai akar yang mendalam di kalangan kehidupan masyarakatnya, seperti di Aceh, Banten, Pantai Utara Jawa, Sulawesii Selatan. Sebaliknya di daerah-daerah yang telah mendapat pengaruh budaya Hindu dan telah mengembangkan suatu corak tersendiri, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di daerah-daerah pedalamannya, agama dan budaya Islam banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur adat-istiadat dan alam pemikiran Hindu Jawa. Oleh karena itu, agama dan kebudayaan Islam yang berkembang di Indonesia memiliki beberapa unsur yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia. Hal ini juga tidak terlepas dari proses awal masuknya agama dan kebudayaan Islam ke Indonesia.
Adapun faktor-faktor yang mempermudah perkembangan Islam adalah:
Sebelum masuknua Islam ke Indonesia, yaitu pada masa kerajaan Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia terbagi menjadi beberapa golongan atau kasta. Ada sebagian yang memiliki kedudukan Istimewa dan lebih tinggi derajatnya seperti golongan Brahmana dan golongan Ksatria. Namun, ada juga golongan masyarakat yang rendah yang selalu dihina oleh golongan-golongan yang lebih tinggi, yaitu golongan Sudra dan Waisya. Dengan datangnyaajaran agama Islam, maka golongan yang berkedudukannya rendah inilah yang pertama kali memeluk agama Islam. Dalam ajaran agama Islam tidak dikenalnya adanya perbedaan golongan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki kedudukan yang sama sebagai hamba Allah. Walaupun demikian, ajaran agama Islam kurang meresap di kalangan istana, hal ini dibuktikan masih adanya praktek-praktek feodalisme khususnya di lingkungan Keraton Jawa.
Agama Islam cocok dengan jiwa pedagang. Boleh dikatakan bahwa ajaran agama Islam dengan perdagangan seperti kulit dengan daging. Satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, terutama di Indonesia. Bukti telah menunjukkan bahwa ajaran agama Islam di Indonesia muncul di tengah-tengah suasana perdagangan. Dengan memeluk Islam maka hubungan di antara pedagang semakin bertambah erat, sesuai dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa setiap orang Islam itu bersaudara.
Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah memberi peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Di dalam pergaulan yang erat itu kemudian muncul saling mempengaruhi dan saling pengertian. Dengan pendekatan yang tepat, maka bangsa Indonesia dengan mudah dapat menerima ajaran agama Islam.
Islam berkembang dengan cara damai. Pendekatan secara damai akan lebih berhasil dibanding dengan secara paksa dan kekerasan.
Pola pembentukan Budaya Islam, antara lain adalah
Pertama : pola Samudera Pasai yang berlangsung melalui perubahan dari negara segmeter ke negara yang berpusat. Kerajaan tersebut menghadapi golongan-golongan di daerah pedalaman yang harus diislamkan dan terjadi pertentangan politik serta pertikaian keluarga. Namun akhirnya Kerajaan Samudera Pasai dapat menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan penyiaran agama yang dilanjutkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam.
Kedua : pola Sulawesi Selatan, dengan Islamisasi melalui konversi pusat kekuasaan (istana/keraton). Islam tidak mengubah desa mennjadi suatu bentuk organisasi kekuasaan, melainkan konversi agama yang dijalankan dengan pusat kekuasaan yang telah ada terlebih dahulu. Pola ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan, Maluku, Banjarmasin.
Ketiga : pola Jawa, dalam pola ini kekuasaan Majapahit diganti oleh Demak sebagai pemegang kekuasaan politik, sehingga menjadi jembatan penyeberangan dari Budaya Hindu-Buddha menjadi Islam. Agama Islam disiarkan melalui jalan damai, walaupun konsekuensinya terjadi semacam sinkretisme. Raja diberi gelar baru, yaitu sultan dan panatagama. Sebagai raja dalam kerajaan Islam yang mengatur dan melindungi agama.
3. Perkembangan Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kemunculan bandar-bandar dagang di India. Pedagang-pedagang Cambay dan Gujarat datang ke Indonesia bukan hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan agama yang mereka anut. Karena terdorong oleh kataatan pada agama, mereka langsung mengajarkan pada masyarakat di mana mereka berada. Selain itu, para pedagang yang datang dari Persia juga ikut menyebarkan agama Islam di Indonesia.
Kerajaan Samudera Pasai adalah Lerajaan pertana yang menganut agama Islam di Indonesia, dengan Pasai sebagai pusat pengembangan dan pusat kegiatan para pedagang Islam di Indonesia. Namun dengan semakin berkebangnya Malaka sebagai bandar perniagaan di Selat Malaka, kedudukan Pasai semakin terdesak mundur. Posisi letak Malaka pada waktu itu jauh lebih strategis dibanding letak Pasai.
Pada abad ke-14 M, Malaka mulai berkembang sebagai pusat perdaganagan di Asia Tenggara. Pada mulanya Malaka merupakan suatu perkampungan nelayan, namun akhirnya Malaka menjadi bandar yang sangat ramai.
Makin lama makin besar kekuasaan orang-orang Islam dalam perdagangan di Dunia Timur. Orang-orang Gujarat tidak menemui kesulitan ketika menyebarkan agama Islam kepada orang-orang Jawa, walaupun Jawa telah 1000 tahun dipengaruhi olh kebudayan India.
Penyebaran agama Islam tidak dilarang atau dirintangi oleh Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-15 M, kekuatan Majapahit mulai menghilang. Bandar-bandar perdagangan yang ada di utara Pulau Jawa membentuk persekutuan di bawah Raden Pattah (Bupati Demak). Pada permulaan abad ke-16 M, pasukan Demak menyerbu Kerajaan Majapahit. Seluruh alat kebesaran Majapahit jatuh ke tangan Demak, sehingga Kerajan Demak berkembang dan menggantikan peranan Kerajaan Majapahit.
4. Wali Songo
Penyebaran agama islam juga dilakukan oleh para wali atau utusan. Selain memiliki pengetahuan tentang agama islam, para wali juga dianggap memiliki pengetahuan tentang ilmu mu’jizat (artinya ajaib atau dapat menimbulkan keheranan).
Para wali ayng berjasa menyebarkan agama Islam di Indonesia dikenal dengan sebutan Wali Songo. Lima orang wali bermukim di Jawa Timur, tiga orang di Jawa Tengah dan seorang di Jawa Barat.
Selain Wali Songo terdapat juga Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang. Karena mengajarkan ilmu Tasawwuf, yang belum tepat pada saat itu, maka ia dihukum bakar dan dianggap tidak termasuk ke dalam Wali Songo.
Kita juga mengenal para pemikir Islam atau sufi seperti Hamzah Fansuri, Narrudin Ar-Raniri. Mereka adalah pemikir sekaligus penulis produktif pada awal perkembangan Islam.
Penyebaran agama Islam yang lain di Jawa Tengah adalah Sunan Tembayat atau Sunan Bayat. Ia berkedudukan di Klaten. Ia menyebarkan agama Islam malalui pendidikan di Pondok pesantren. Pendidikan ini diikuti oleh paea pemuda berbagai daerah. Dalam pondok itu para santri diberikan pendidikan agama oleh kyai (orang yang ahli dalam agama Islam). Bila seorang santri sudah tamat dalam pelajarannya ia harus kembali ke kampung halamannya dan menyebarkan agama Islam di daerahnya dengan fasilitas masjid atau surau.
Adapun nama-nama Wali Songo adalah
Maulana Malik Ibrahim yang kabarnya berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik.
Sunan Ngampel yang semula bernama Raden Rakhmat berkedudukan di Ngampel (Ampel) dekat Surabaya.
Sunan Bonang yang semula bernama Makdum Ibrahim, putranya Raden Rakhmat dan berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Sunan Drajat yang semula bernama masih Munat juga putra Raden Rakhmat yang berkedudukan di Drajat dekat Sedayu Surabaya.
Sunan Giri yang semula bernama Raden Paku, murid dari Sunan Ngampel berkedudukan di Bukit Giri, Gresik.
Sunan Muria yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
Sunan Kalijogo yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu (dekat Demak).
Sunan Gunung Jati yang semula bernama Fatahillah atau Falatehan yang berasal dari Samudera Pasai. Ia dapat merebut Sunda Kelapa, Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati (dekat Cirebon).
5. Perwujudan Akulturasi Kebudayaan Indonesia dengan Kebudayaan Islam
a. Seni Bangunan
Masjid
Ciri khas Masjid pada Zaman Islam di Indonesia
Atap (bagian yang melingkupi bagian bujur sangkar)
Atap yang bukan berupa kubah (seperti ciri bangunan pada umumnya), melainkan berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil. Tingkatan paling atas berbentuk limas, jumlah tumpang selalu ganjil (gansal), biasanya tiga. Tetapi ada juga yang lima seperti pada Masjid Banten.
Menara
Meskipun menara bukan bagian masjid yang harus ada, namun dalam seni bangunan Islam selalu merupakan bagian tambahan yang memberi keindahan.
Letak Masjid
Pada umumnya masjid didirikan berdekatan dengan istana. Kalau disebelah utara dan selatan istana biasanya terdapat sebuah lapangan (di Jawa disebut alun-alun), maka masjid didirikan di tepi barat alun-alun.
Msjid sering ditemukan di tempat-tempat keramat, yaitu tempat makam seorang raja, wali atau ahli agama termasyhur. Tempat keramat atau tempat suci sangat diutamakan dalam pendirian masjid. Dari beberapa raja dan wali diketahui dalam masa hidupnya, mereka telah menunjukkan tempat di mana mereka ingin dimakamkan. Biasanya tempat yang dipilih adalah bukit yang dianggap keramat, Masjid-masjid itu diantaranya:
Masjid Agung Cirebon yang bertingkat dua dan dibangun pada awal abad ke 16 M.
Masjid Katanga di Sulawesi Selatan dari abad ke 17 M
Masjid Ternate
Masjid Jepara
Masjid Agung Demak yang berdirI pada abad ke 16 M
Makam
Makam sebagai tempat kediaman yang berakhir dan abadi, diusahakan pula menjadi perumahan yang sesuai dengan orang yang dikubur.
Model arsitektur masjid pada masa Islam awal sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu. Hal ini tampak pada bangunan atapnya yang bertingkat-tingkat. Model arsitektur masjid pada masa islam awal. 1: mustoko / memolo. 2: atap tumpang. 3: soko guru. 4: mihrab. 5: serambi. 6: model mihrab di Masjid Agung Demak.
Makam tertua di Indonesia adalam makam Fatimah Binti Maimun yang lebih dikenal dengan nama Wari di Leran (tahun 1082 M), dan makamnya justru diberi cangkup. Makam ini mirip candi. Hal ini dibuktikan bahwa pada abad ke 11 M masyarakat masih terikat pada bentuk candi.
b. Aksara dan Seni Rupa
penulisan aksara-aksara arab di Indonesia, biasanya dipadukan dengan seni jawa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Perkembangan seni kaligrafi Arab di Indonesia kurang begitu pesat, bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan oleh:
Penggunaan seni kaligrafi Arab sebagai hiasan di Indonesia masih terbatas.
Bangunan-bangunan kuno pada permulaan Islam kurang memberi peluang bagi penerapan seni Kaligrafi.
Bangunan masjid-masjid kuno seperti Masjid Banten, Cirebon, Demak, dan Kudus kurang memperlihatkan penggunaan Seni Kaligrafi Arab.
c. Seni Sastra
Perkembangan awal seni sastra Indonesia ada zaman islam berkisar di sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) dan di Jawa. Di daerah Melayu sebagai pertumbuhan baru dan di Jawa sebagai perkembangan lebih lanjut dari seni sastra Zaman Hindu.
Seni sastra Zaman Islam yang berkembang di Indonesia sebagian besar mendapat pengaruh dari Persia, seperti cerita-cerita tentang Amir Hamzah, Bayan Budiman, 1001 malam (alf lailawa laila), dan sebagainya.
d. Gubahan Seni Sastra Zaman Hindu
Kitab Suluk di samping seni Sastra tersebut di atas, juga terdapat kitab-kitab suluk (kitab Primbon). Kitab-kitab ini bercorak magis dan berisi Ramalan-ramalan dan penentuan hari-hari baik dan buruk, serta pemberian-pemberian makna pada suatu kejadian.
Contoh Kitab Suluk
Suluk Sukarsa, isinya menceritakan seseorang (Ki Sukarsa) yang mencari ilmu untuk mendapatkan kesempurnaan.
Suluk Wujil, isinya wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada Wujil (Wujil adalah seorang kerdil bekas abdi Raja Majapahit).
Suluk Malang Sumirang, isinya mengagungkan orang yang telah mencapai kesempurnaan dan telah bersatu dengan Tuhan
6. Sistem Pemerintahan
Sejalan dengan melemahnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, pedagang-pedagang Islam yang mungkin juga disertai mubaligh-mubaligh menggunakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dagang dan politik. Mereka mendukung munculnya daerah-daerah yang menyatakan dirinya sebagai kerajaan bercorak Islam, seperti Samudera Pasai yang terletak di Pesisir Timur Aceh (termasuk kabupaten Aceh Utara dekat Lhok Seumawe).
Kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam yang pertama di Indonesia, diperkirakan berdiri pada abad ke-13 M. Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan pertama yang mnganut sistem pemerintahan yang bercorak Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya di daerah-daerah lain di Indonesia mulai bermunculan sistem pemerintahan bercorak Islam, termasuk daerah-daerah pesisir pantai. Perkembangan ini semakin bertambah pesat setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak dengan raja pertamanya Raden Patah.
Sejak berdirinya Kerajaan Demak, perkembangan Islam bertambah pesat, seperti di Gresik, Banten, Cirebon, Jayakarta (termasuk daerah-daerah utara pantai Pulau Jawa), Banjarmasin, Makassar, Tidore dan Ternate (Maluku).
Oleh karena itu, pada abad ke-16 M, hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat pusat-pusat pemerintahan Islam dengan Rajanya bergelar sultan.
7. Filsafat dan Ajaran Islam
Dalam perjalanannya, islam sebagai agama mengalami banyak perkembangan dalam alam pikir yang pada hakikatnya untuk mengimbangi perkembangan jiwa masyarakat pendukungnya. Dalam abad ke-18 M tersusun dasar-dasar ilmu fikih, yaitu ilmu yang menguraikan segala macam peraturan serta hukum guna menetapkan kewajiban-kewajiban masyarakat Islam terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia. Pada abad ke-10 lahirlah dasar-dasar Ilmu Qalam, yaitu berisi penetapan segala apa yang harus menjadi kepercayaan seorang muslim. Pada abad ke-11 M, lahir dasar-dasarr Ilmu Tasawwuf, yaitu memberi jalan kepada manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan berdasarkan cinta terhadap-Nya. Ketiga ilmu yang menjadi dasar filsafat dan pegangan umat Islam.
Fikih (Fiqh)
Fikih adalah bagian pokok agama Islam yang mengatur hidup serta penghidupam masyarakat Islam, baik mengenai lahir maupun batin. Isi Fikih adalah syariah, yaitu hukum yang menetapkan hak dan kewajiban-kewajiban orang Islam terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia. Sturan-aturan mengenai ibadah, perkawinan, warisan, perang serta damai, makanan, pakaian dan lain sebagainya terdapat di dalamnya.
Fikih berpangkalpola 4 akar yang disebut dengan Usul Al-Fikih, yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Quran dan Sunah adalah dasar-dasar agama Islam, sedangkan Ijma’ dan Qiyas sebagai akar fikih, sesungguhnya merupakan pelengkap untuk memberi dasar kepada soal-soal yang tidak langsung terdapat aturannya di dalam Al-Quran dan Sunah.
Qalam
Ilmu qalam adalah ajaran pokok agama Islam yang berisi soal-soal sekitar keesaan Tuhan yang menjadi dasar kepercayaan (iman) mutlak bagi pemeluk islam. Ilmu tersebut disebut juga ilmu at-tauhid (artinya ilmu tentang keesaan Tuhan).
Ilmu Qalam ini mempunyai 6 akar yang disebut dengan Arkan Al-Iman atau Usul ad-sin, yaitu kepercayaan kepada Allah, malaikat, Rosul, Kitab (Quran), Yaumul Qiyamah, dan Takdir.
Tasawwuf
Ilmu Tasawwuf membahas tentang orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena terdorong oleh cinta dan Rindu terhadap Allah. Mereka meninggalkan masyarakat ramai dengan segala keduniawian, dan menghadapkan raga dan jiwanya hanya kepada Tuhan.para pencari Tuhan ini mengembara kemana-mana. Mereka dinamakan sufi dan alirannya dinamakan tasawwuf.
Beberapa orang sufi dan ajaran mereka ditentang karena dianggap benar-benar bertentangan dengan ajaran agama Islam. Di antara ajaran tersebut adalah ajaran yang bersifat pantheisme. Orang-orang sufi menyangka bahwa dirinya telah berhasil mendapatkan Tuhan dan beranggapan behwa Tuhan itu adalah dirinya sendiri atau dirinya sendiri itu adalah Tuhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar