Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub) sesuai firman Allah SWT :
“Maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki.” (TQS An Nisaa` : 3)
Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan
tuntutan untukmelakukan nikah (thalab al
fi’il). Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan
memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku
al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung
keharusan (thalab ghair jazim) atau
berhukum sunnah, tidak wajib.
Namun
hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau
haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang
tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah)
dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya.
Sebab, menjaga kesucian (‘iffah) dan
akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali
dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syara’ :
Ma la yatimmul wajibu illa bihi
fahuwa wajib
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan
sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III,
hal. 36-37)
Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi
perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti isteri, atau
pernikahan yang akan membahayakan agama
isteri/suami. Kaidah syara’ menyatakan :
Al wasilah ila al haram muharramah
“Segala perantaraan kepada yang haram hukumya haram.”
(Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Muqaddimah
Ad Dustur, hal. 86)
Adapun menikah
dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya
menurut syara' adalah sunnah (mandub).
(Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham
Al Ijtima’i fi Al Islam, hal. 101).
Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Wahai para
pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan
lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu,
hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR.
Bukhari dan Muslim) (HSA Al Hamdani, 1989, Risalah
Nikah, hal. 18)
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja seruan itu
tidak disertai indikasi (qarinah) ke
arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunnah).
Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith hal. 470 adalah
orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud
kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal
ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat
yang khusus/spesifik bagi seorang
laki-laki (Ibid, hal. 332).
syarat-syarat sebagai persiapan
sebuah pernikahan
Hukum
umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai
persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan
nikah dalam tinjaun fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :
Pertama, kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman
hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum
menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan
rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`.
Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi
seorang muslim mengetahui hukum-hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya
atau yang akan segera dilaksanakannya.
Kedua, kesiapan materi/harta. Yang dimaksud
harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) (lihat QS An Nisaa` : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk
memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat
al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (lihat QS
Al Baqarah : 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak
harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang
diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada
isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar
nafkah yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam
sebuah masyarakat (Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 174-175).
Ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi
laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak
impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus
Salam juz III hal. 109 menyatakan bahwa al
ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab
pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang
impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An
Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hal.163).
Ini menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah.
Kewajiban Menjaga Pergaulan Pria-Wanita
Untuk Menjaga Kesucian Jiwa (‘Iffah)
Syariat Islam sebenarnya telah
secara preventif menetapkan hukum-hukum yang jika dilaksanakan, kesucian jiwa
dan akhlaq akan terjaga, dan para pemuda terhindar dari kemungkinan berbuat
dosa, seperti pacaran dan zina. Berikut ini beberapa hukum tersebut :
1). Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki
maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya, dengan
firman Allah SWT :
"Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Dan katakanlah
kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemauannya." (TQS An-Nur:30-31)
2). Islam telah memerintahkan kaum laki-laki maupun
kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara yang syubhat, dan
menganjurkan sikap hati-hati agar tidak tergelincir dalam perbuatan ma'siyat
kepada Allah, serta menjauhkan diri dari pekerjaan, atau tempat apa pun tidak
berbaur dengan kondisi dan situasi apapun yang di dalamnya terdapat syubhat,
supaya mereka tidak terjerembab dalam perbuatan yang haram. Rasulullah SAW
bersabda :
"Sesungguhnya
yang halal telah jelas, begitu pula yang haram telah jelas; dan diantara dua
perkara itu terdapat syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barang
siapa berhati-hati dengan tindakan syubhat sesungguhnya ia telah menjaga agama
dan dirinya, dan barang siapa yang melakukan tindakan syubhat, maka ia telah
melakukan tindakan yang haram, sebagaimana halnya seorang penggembala yang
menggembalakan kembingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati
pagar itu. Ketahuilah sesungguhnya setiap penguasa memiliki pagar pembatas, dan
sesungguhnya pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkannya." (HR.
Bukhari)
3). Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan
pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat 'iffah, dan mampu mengendalikan nafsu. Allah SWT
berfirman :
"Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah memberikan kepada
mereka kemampuan dengan karunia-Nya." (TQS. An Nur : 33)
4). Islam melarang kaum laki-laki dan wanita satu sama
lain melakukan khalwat. Yang dimaksud dengan khalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang wanita di
suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan seorang pun untuk masuk tempat
itu kecuali dengan izin kedua orang tadi, seperti misalnya berkumpul di rumah,
atau tempat yang sunyi yang jauh dari jalan dan orang-orang. Sabda Nabi SAW :
"Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah jangan melakukan
khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahram, karena sesungguhnya
yang ketiga itu adalah syaithan."
5). Islam melarang kaum wanita melakukan tabarruj,
sebagaimana firman Allah :
"Dan
perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh dan mengandung) yang
tidak ingin kawin lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasannya (bertabarruj)." (TQS. An-Nur : 60)
6). Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk
mengenakan pakaian sempurna, yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangannya; dan hendaknya mereka mengulurkan pakaiannya sehingga mereka dapat menutupi tubuhnya. Allah SWT berfirman :
“Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kerudung (khimar) ke dadanya."
(TQS An Nuur: 31)
"Hai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka." (TQS Al
Ahzab: 59)
7). Islam
melarang seorang wanita melakukan safar
(perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam,
kecuali apabila disertai dengan mahramnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak
dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir
melakukan perjalanan selama sehari semalam kecuali bila disertai
mahramnya."
8) Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus
hendaknya jamaah kaum wanita terpisah (infishal)
dari jamaah kaum pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah dan lain
sebagainya. Islam telah menetapkan
seorang wanita hendaknya hidup di tengah tengah kaum wanita, sama halnya dengan
seorang pria hendaknya hidup di tengah tengah kaum pria. Islam menjadikan shaf shalat kaum wanita di
bagian belakang dari shaf shalat kaum pria, dan menjadikan kehidupan wanita
hanya bersama dengan para wanita atau
mahram-mahramnya. Wanita dapat melakukan
aktivitas yang bersifat umum seperti jual beli dan sebagainya, tetapi begitu
selesai hendaknya segera kembali hidup bersama kaum wanita atau
mahram-mahramnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar