Rabu, 21 November 2012

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN MALAYSIA



Kita melihat bahwa antara Negara Malaysia dan Indonesia kerja sama pada bidang Pendidikan berjalan dengan baik. Berbagai kenangan sejarah masa lalu turut menguatkan anggapan tentang itu. Pada tahun 1970-an, guru-guru Indonesia dikirimkan ke Malaysia untuk mendidik anak-anak di Malaysia dalam mata pelajarana sains, Matematika. Reputasi Indonesia di bidang pendidikan di masa lalu itu hilang begitu saja, terutama saat Malaysia mengalami kemajuan seperti ini yang jauh meninggalkan Indonesia kemajuannya itu. Indonesia malah mengalami keterpurukan pendidikan yang banyak masalah juga.


1.      Awal Persaingan “Indonesia Ganyang Malaysia”
Berbagai masalah yang kita dengar masalah antara Malaysia dengan Indonesia, diantaranya adalah masalah TKI, penebangan liar, klaim seni budaya dan adanya batas an negara. Hal ini tampaknya telah menutupi kenangan masa-masa manis hubungan Indonesia dan Malaysia yang pernah mengadakan kerja sama yang baik. Bahkan tidak sedikit pihak lain yang mengingatkan kembali yang tidak menyetujui tentang pertentangan yang menolak kelahiran Malaysia karena dianggap sebagai negara boneka penjajah Barat (Inggris).
Pada tahun 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
“Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Mentri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak”.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang amat bersejarah, berikut ini:
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malajsia
Ganjang... Malajsia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!

Soekarno.
Berawal seperti itu sehingga hubungan antara Indonesia dan Malaysia beberapa kali mengalami pasang surut. Pada tahun 1963, terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961.
"Perang" pertama dilakukan sekitar tahun 1960-1970 karena niat Malaysia untuk menggabungkan kawasan Malaysia di Kalimantan (Termasuk Brunei),perang pertama dinamakan dengan nama: Konfrotasi Indonesia-Malaysia.
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya :
*       Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
*       Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia 

Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia. Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil. Kemudian pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Kemudian di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia telah ditangkap di Johor. Kegiatan Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah berasal dari Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan.
Pada 17 Agustus pasukan melakukan terjun payung yang mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Kemudian pada tanggal 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan kemudian ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif. Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963, Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia. Australia mengakui pemecahan seperti ini yaitu pada tahun 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary. Kemudian pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Akhir dari konfrontasi ini yaitu pada saat menjelang akhir tahun 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. Sehingga pada saat 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.

2.      Persaingan Perebutan Wilayah antara Malaysia dan Indonesia
Masalah tentang ketidak jelasan antara batas-batas Indonesia dengan Malaysia, sering menjadi persengketa antara negara-negara yang saling berbatasan. Sengketa perbatasan pada hakikatnya dilatar belakangi oleh suatu motivasi adanya kepentingan tertentu baik kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya ataupun demi kepentingan pertahanan serta keamanan. Selain itu juga terdapat perkembangan regional internasional turut pula memengaruhi tingkah laku negara-negara yang bersengketa dalam mempertahankan bahkan memperjuangkan kedaulatan wilayahnya.
Pada tahun 1967, Indonesia mengelola Blok Bunyu berdekatan dengan Blok Ambalat, sebuah wilayah yang belakangan ini menjadi perbatasan yang panas. Konflik ini dimulai pada 1979, pada waktu itu Malaysia menerbitkan peta wilayah yang baru dengan memasukkan Pulau Sipadan dan Ligatan dalam wilayah teritorialnya. Indonesia merespon dengan sedikit agak terlambat karena baru mengajukan protes atas peta yang dibuat Malaysia pada setahun sebelumnya (Anissa, 2009:194).
Pada 1989, PM Mahathir Mohammad berkunjung ke Indonesia, dan bertemu dengan Presiden Soeharto di Yogyakarta membicarakan masalah Sipidan dan Ligitan. Selain itu, pada 1989 juga terjadi sengketa Flor de la Mar, yaitu perebutan bangkai kapal Flor de la Mar bekas kapal Portugis yang karam pada 1512 yang mengandung emas dan permata. Kemudian pada tahun 18 Januari 1991 Malaysia dan Indonesia sepakat untuk menandatangani perjanjian untuk tidak mengintervensi kedua pulau itu. Kemudian pada tahun 1992, Malaysia dan Indonesia sempat menyelesaikan konflik dengan dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama. Tetapi, perundingan mencapai jalan buntu, akhirnya ditunjuk wakil khusus. Indonesia diwakili oleh Moediono dan Malaysia Wakil PM Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim.
 Kejadian yang berkaitan dengan wilayah laut juga mempengaruhi hubungan kedua Negara ketika pada 7 januari 2005 kapal nelayan jenis Trawl Indonesia dikejar dan ditembak oleh Kapal Perang Tentara Luar DiRaja Malaysia (TLDM) KD Sri Melaka 3147 Malaysia. Kemudian pada 16 Februari 2005, kontrak bagi hasil antara Shell dan Perronas terjadi dan hal ini mendapat teguran Menlu RI terhadap tindakan Shell. Pada 26 Februari 2005, sekitar pukul 10.00 Wita, pesawat Malaysia jenis Beechcraft B-200 T Super King mendekati KRI Wiratno dan memasuki wilayah Indonesia sekitar 3 mil dari titik batas. Kemudian pada tanggal 1 Maret 2005, RI mengerahkan tiga kapal perang KRI Wiratno, KRI Rencong, dan KRI Nuku untuk mengantisipasi maneuver pasukan Malaysia di Pulau Sipidan dan Ligitan.
Hubungan antara Indonesia dan Malaysia juga sempat memburuk pada tahun 2000- 2002 ketika kepulauan Sipadan dan Ligitan di klaim oleh Malaysia sebagai wilayah mereka, dan berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda bahwa Sipadan dan Ligitan merupakan wilayah Malaysia. Sipadan dan Ligitan merupakan pulau kecil di perairan dekat kawasan pantai negara bagian Sabah dan Provinsi Kalimantan Timur, yang diklaim dua negara sehingga menimbulkan persengkataan yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Sipadan dan Ligitan menjadi ganjalan kecil dalam hubungan sejak tahun 1969 ketika kedua negara mengajukan klaim atas kedua pulau itu. Kedua negara tahun 1997 sepakat untuk menyelesaikan sengketa wilayah itu di MI setelah gagal melakukan negosiasi bilateral. Kedua belah pihak menandatangani kesepakatan pada Mei 1997 untuk menyerahkan persengkataan itu kepada MI. MI diserahkan tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa dengan jiwa kemitraan. Kedua belah pihak juga sepakat untuk menerima keputusan pengadilan sebagai penyelesaian akhir sengketa tersebut. Selain itu, pada 2005 terjadi sengketa mengenai batas wilayah dan kepemilikan Ambalat.



3.      Masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia
Malaysia merupakan Negara yang banyak dikunjungi orang dari berbagai Negara. Hal ini tidak terlepas dari perekonomian dari Negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang begitu maju dan begitu juga dengan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga banyak mengundang banyak orang dari luar negeri untuk datang. Daerah perkotaan dan megapolitan seperti Kuala Lumpur, Johor, dan Putrajaya adalah pusat perekonomian yang membutuhkan tenaga kerja sebagai pilar utama berjalannya roda ekonomi.
Etnis Melayu mendapatkan kesejahteraan yang luar biasa sejak hak istimewanya dijamin dalam konstitusi. Perlindungan Negara dan jaminan kesejahteraan dari Negara terhadap etnik ini membuat mereka mendapatkan pekerjaan yang mapan dan kehidupan yang lebih dari cukup.
Lalu buruh-buruh yang bekerja di Malaysia itu berasal dari imigran yang berdatangan dari Negara-negara lain, seperti Indonesia, Nepal, Bangladesh, India, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Pakistan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya imigrasi ini antara lain (Annisa, 20009:212):
*      Tingginya kesempatan kerja di Malaysia, terutama untuk kerja kasar dan kerja rendahan seperti buruh konstruksi, buruh perkebunan kelapa sawit, dan pembantu rumah tangga, dan lain-lain.
*      Nilai kurs mata uang Malaysia yang tinggi di banding dengan mata uang Negara-negara asal.
*      Longgarnya aturan keluar masuk ke Negara Malaysia, terutama di awal-awal era pembangunan dan modernisasi sebelum pemerintah Malaysia membuat peraturan ketat untuk membatasi datangnya imigran illegal dari luar negeri.
*      Banyaknya pengguran di Negara-negara asal
*      Dll.
Secara khusus, tenaga kerja asal Indonesia di Malaysia dari tahun ke tahun mengalami jumlah yang tidak menurun, melainkan dari tahun ke tahun jumlahnya makin meningkat dan jumlahnya paling tinggi di bandingkan dengan Negara-negara lain.
Komposisi Pekerja Luar negeri Berdasarkan Asal-Usul negaranya (%) (Anissa, 2009: 213) adalah

Negara
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Indonesia
Nepal
Bangladesh
India
Myanmar
Filipina
Thailand
Pakistan
Negara Lain
53,3
0,1
37,1
3,6
1,3
2,7
0,7
1,0
0,2
65,7
0,1
27,0
3,2
0,9
1,8
0,5
0,6
0,2
69,4
0,1
24,6
3,0
0,5
1,2
0,4
0,5
0,3
68,4
7,3
17,1
4,0
1,0
1,0
0,4
0,4
0,4
64,7
9,7
9,7
4,6
3,3
0,8
2,4
0,2
4,6
63,8
9,7
8,4
5,6
4,3
0,6
0,9
0,2
6,5
66,5
9,2
8,0
4,5
4,2
1,1
1,0
0,1
5,4
Total
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
TKI berperan dalam penerimaan pertukaran mata uang asing Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan uang kiriman dari TKI dari Malaysia itu akan dikirim ke Indonesia untuk keluarganya, dan keluarganya akan menukarkan dengan uang Indonesia, sehingga mata uang asing akan masuk di Indonesia dan akan tertulis sebagai penerimaan uang asing. Uang asing yang diperoleh akan member makna yang baik kepada sumber atau cadangan mata uang asing Indonesia. Menguatnya simpanan mata uang asing akan mempengaruhi stabilitas nilai tukar mata uang rupiah dan secara langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi kearah yang lebih baik.
Dilihat banyak kasus, untuk mengatasi itu, Indonesia-Malaysia mengadakan kesepkatan terutama permasalahan TKI (penganiayaan, deportasi TKI illegal, dll)di Indonesia sudah terdapat Undang-Undang No.39 yaitu TKI mendapat perlindungan mulai dari awal keberangkatan, saat bekerja di Luar negeri, hingga selesai kontrak kerja dan pulang ke Indonesia.
Bagi Malaysia harus ada kemauan untuk memberikan perlindungan dan penghormatan pada TKI. Karena Negara Jiran itu juga mendapatkan banyak keuntungan dari keberadaan TKI yang berperan besar dalam memperlancar pembangunan perekonomiannya (Anissa, 2009:215).
Keberadaan TKI ini akan tetap menjadi isu yang menunjukkan dinamika hubungan antara Indonesia dengan Malaysia. Karena, hingga sekarang sebagai kasus TKI masih saja terjadi, mulai ada penganiayaan, deportasi TKI illegal, dll.
4.      Masalah Pembalakan Liar (Illegal Logging)
Penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan, serta penjualan yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun berapa pastinya angka penebangan liar sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber mengindikasikan bahwa lebih dari separo dari semua kegiatan penebangan hutan itu bersifat liar atau tidak sah.
Penebangan liar itu terjadi dalam kaitannya dengan meningkatnya kebutuhan kayu dipasaran internasional, besarnya kapasitas industry kayu dalam negeri, konsumsi local, lemahnya penegakan hukum dan pemutihan kayu, kerugian utama adalah terjadinya penggunulan hutan. Laju deforestasi di Indonesia dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Ini lah yang membuat hutan Indonesia menjadi rusak (Anissa, 2009:222).
Bila keadaan seoerti ini di biarkan maka Sulawesi, dan Papua akan menyusul Sumatera dan Kalimantan yang sudah mengalami kerusakan hutan. Pembalakan liar merupakan kasus lain yang juga harus diselesaikan oleh Indonesia dengan Malaysia. Dan bahwa kita lihat jelas yang dirugikan adalah Indonesia, Malaysia adalah transit utama dari produk kayu illegal dari Indonesia. Cukong-cukong kayu Malaysia membeli kayu dan membiayai pencuri kayu dari hutan-hutan Kalimantan dan Papua. Kayu yang ditebang berasal dari Indonesia, sedangkan kawasan Malaysia sendiri dibiarkan. Kayu-kayu curia nasal dari Indonesia itu diberi label legal oleh Kuala Lumpur dan selanjutnya dijual ke Eropa dan Jepang, baik dalam bentuk log, setengah jadi, maupun produk furniture. Di Malaysia pun tumbuh industry kayu lapis dengan cepat yang bahan-bahannya berasal dari kayu curian.
Dapat dikatakan bahwa upaya Indonesia untuk menangani masalah tentang penebangan liar ini sudah dibilang terlambat bahkan juga dapat dibilang efektif. Karena wataknya yang korup, uang cukong-cukong itu mampu mengendalikan aparat keamanan, pemda, dan birokrasi terkait dengan perkayuan. Di Malaysia sendiri para cukong itu dianggap sebagai pahlawan.
Sehingga pada tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalampertemuan bilateral dua hari berlangsung di Bukittinggi, Sumatra Barat menekankan pemtingnya kerja sama yang komprehensif dalam mengatasi masalah pembalakan haram dan penyelundupan kayu curian. Untuk menjawab keinginan ke dua kepala Negara tersebut, Men tri kehutanan MS Kaban membentuk gugus tugas (task force). Pertemuan bilateral selanjutnya juga diadakan untuk membahas pembalakan liar dan penyelundupan kayu curian yang diadakan di Indonesia pada Februari 2006, terutama membahas pembalakan haram di sepanjang perbatasan (Anissa, 2009:224).
Indonesia dan Malaysia akhirnya menyepakati untuk bekerja sama untuk memerangi illegal logging dan berupaya untuk meningkatkan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Dengan demikian semua pihak di tingkat internasional akan menjadi jelas mana kayu yang legal dan mana kayu yang illegal.
Selain itu, kedua presiden itu menyepakati sgera dilakukannya kerja sama yang komprehensif untuk menanggulangi masalah polusi asap yang melintasi berbagai Negara. Mereka menyadari bahwa ppolusi itu akan datang dari dua arah, Malaysia maupun Indonesia. Kerja sama kedua Negara dilaksanakan dalam pembuatan hujan buatan serta pemadaman kebakaran hutan danlahan sejak awal timbulnya api. Kedua kepala Negara juga memnyepakati untuk melakukan penindakan tetrhadap perusahaan yang tidak bertanggung jawab dalamproses penyiapan lahan (Anissa, 2009:225).
2.      Klaim Kepemilikan Seni Budaya
Selain itu pula, Pada Oktober 2007 terjadi konflik akan lagu Rasa Sayang-Sayange dikarenakan lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar Oktober 2007. Sementara Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu Kepulauan Nusantara (Malay archipelago), Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu "Rasa Sayange" adalah milik Indonesia, karena merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi ini sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu hanya mengada-ada. Gubernur berusaha untuk mengumpulkan bukti otentik bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Maluku, dan setelah bukti tersebut terkumpul, akan diberikan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa membuktikan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Indonesia. 
Lalu Malaysia saat ini sedang dalam sengketa dengan Indonesia karena tuduhan pencurian warisan dalam kampanye iklan pariwisata baru-baru ini. Banyak lagu-lagu rakyat Indonesia diklaim oleh Malaysia, terutama Rasa Sayange lagu yang mengakibatkan aduk antara kedua negara pada tahun 2007. Item kebudayaan Indonesia yang lain juga telah diklaim sebagai asli Malaysia seperti angklung alat musik, Batik tekstil tradisional, dan Wayang Kulit (wayang Jawa Tengah) termasuk beberapa tarian tradisional seperti Reog (Ponorogo) dan Kuda Lumping dari Jawa Timur, Bali Tari Pendet Tari, Ninang Tari Garinging tari dari Sumatera Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar