Kita melihat bahwa antara Negara Malaysia dan Indonesia kerja sama pada bidang Pendidikan berjalan dengan baik. Berbagai kenangan sejarah masa lalu turut menguatkan anggapan tentang itu. Pada tahun 1970-an, guru-guru Indonesia dikirimkan ke Malaysia untuk mendidik anak-anak di Malaysia dalam mata pelajarana sains, Matematika. Reputasi Indonesia di bidang pendidikan di masa lalu itu hilang begitu saja, terutama saat Malaysia mengalami kemajuan seperti ini yang jauh meninggalkan Indonesia kemajuannya itu. Indonesia malah mengalami keterpurukan pendidikan yang banyak masalah juga.
1.
Awal
Persaingan “Indonesia Ganyang Malaysia”
Berbagai
masalah yang kita dengar masalah antara Malaysia dengan Indonesia, diantaranya
adalah masalah TKI, penebangan liar, klaim seni budaya dan adanya batas an
negara. Hal ini tampaknya telah menutupi kenangan masa-masa manis hubungan
Indonesia dan Malaysia yang pernah mengadakan kerja sama yang baik. Bahkan
tidak sedikit pihak lain yang mengingatkan kembali yang tidak menyetujui
tentang pertentangan yang menolak kelahiran Malaysia karena dianggap sebagai
negara boneka penjajah Barat (Inggris).
Pada
tahun 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah
provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan
Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian
dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia
Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan
Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.
Rencana
ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa
Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan
menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia.
Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki
hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di
Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember
1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang
Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan
Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris
(British Far Eastern Command)
mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17
April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina
dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila
mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang
diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan
dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam
negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia
melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti
imperialisme Inggris.
“Sejak
demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu
gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda
Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Mentri Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak”.
Soekarno yang murka
karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara
Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamirkan gerakan Ganyang
Malaysia melalui pidato beliau yang amat bersejarah, berikut ini:
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malajsia
Ganjang... Malajsia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno.
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malajsia
Ganjang... Malajsia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno.
Berawal seperti itu sehingga hubungan antara Indonesia dan Malaysia beberapa kali mengalami pasang surut. Pada tahun 1963, terjadi
konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Perang ini berawal dari keinginan
Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah
Melayu pada tahun 1961.
"Perang" pertama
dilakukan sekitar tahun 1960-1970 karena niat Malaysia untuk menggabungkan
kawasan Malaysia di Kalimantan (Termasuk Brunei),perang pertama dinamakan
dengan nama: Konfrotasi Indonesia-Malaysia.
Pada 20 Januari 1963,
Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil
sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia
(sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk
menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei
1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno
mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya :
Pertinggi
ketahanan revolusi Indonesia
Bantu
perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk
menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno
mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus,
pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh
gerilyawan Indonesia. Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka
memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Federasi Malaysia resmi
dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar
di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di
kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar
kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura
di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia
ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan
di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak
resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil. Kemudian pada
1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan
Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang
terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi
Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani
sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando
Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon
TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran
operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga
Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang,
Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO,
AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II.
Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan
juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di
perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Kemudian di bulan
Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia telah ditangkap di Johor.
Kegiatan Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan meningkat. Tentera Laut
DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera
Malaysia hanya sedikit yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan
dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya
pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik
senjata dengan Indonesia adalah berasal dari Inggris dan Australia, terutama
pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000
pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus
Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan.
Pada 17 Agustus pasukan melakukan
terjun payung yang mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk
pasukan gerilya. Kemudian pada tanggal 2 September 1964 pasukan terjun payung
didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di
perbatasan Johor-Malaka dan kemudian ditangkap oleh pasukan Resimen Askar
Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum
Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima
Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada
tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru
(Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif. Sebagai
tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New
Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November
1963, Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia,
Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965,
Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima
banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen
Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar
empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu.
Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang
melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik
Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia. Australia mengakui pemecahan
seperti ini yaitu pada tahun 1996.
Pada pertengahan 1965,
Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi
perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan
dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed
Constabulary. Kemudian pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan
kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna.
Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal.
Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi
Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh
warga Malaysia.
Akhir dari konfrontasi
ini yaitu pada saat menjelang akhir tahun 1965, Jendral Soeharto memegang
kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Karena konflik domestik
ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang
dan peperangan pun mereda. Sehingga pada saat 28 Mei 1966 di sebuah konferensi
di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian
konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian
ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
2. Persaingan Perebutan
Wilayah antara Malaysia dan Indonesia
Masalah tentang ketidak
jelasan antara batas-batas Indonesia dengan Malaysia, sering menjadi
persengketa antara negara-negara yang saling berbatasan. Sengketa perbatasan
pada hakikatnya dilatar belakangi oleh suatu motivasi adanya kepentingan
tertentu baik kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya ataupun demi
kepentingan pertahanan serta keamanan. Selain itu juga terdapat perkembangan
regional internasional turut pula memengaruhi tingkah laku negara-negara yang
bersengketa dalam mempertahankan bahkan memperjuangkan kedaulatan wilayahnya.
Pada tahun 1967,
Indonesia mengelola Blok Bunyu berdekatan dengan Blok Ambalat, sebuah wilayah
yang belakangan ini menjadi perbatasan yang panas. Konflik ini dimulai pada
1979, pada waktu itu Malaysia menerbitkan peta wilayah yang baru dengan
memasukkan Pulau Sipadan dan Ligatan dalam wilayah teritorialnya. Indonesia
merespon dengan sedikit agak terlambat karena baru mengajukan protes atas peta
yang dibuat Malaysia pada setahun sebelumnya (Anissa, 2009:194).
Pada 1989, PM Mahathir
Mohammad berkunjung ke Indonesia, dan bertemu dengan Presiden Soeharto di
Yogyakarta membicarakan masalah Sipidan dan Ligitan. Selain itu, pada 1989 juga
terjadi sengketa Flor de la Mar, yaitu perebutan bangkai kapal Flor de la Mar
bekas kapal Portugis yang karam pada 1512 yang mengandung emas dan permata.
Kemudian pada tahun 18 Januari 1991 Malaysia dan Indonesia sepakat untuk
menandatangani perjanjian untuk tidak mengintervensi kedua pulau itu. Kemudian
pada tahun 1992, Malaysia dan Indonesia sempat menyelesaikan konflik dengan
dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama. Tetapi, perundingan
mencapai jalan buntu, akhirnya ditunjuk wakil khusus. Indonesia diwakili oleh
Moediono dan Malaysia Wakil PM Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim.
Kejadian yang berkaitan dengan wilayah laut juga mempengaruhi
hubungan kedua Negara ketika pada 7 januari 2005 kapal nelayan jenis Trawl
Indonesia dikejar dan ditembak oleh Kapal Perang Tentara Luar DiRaja Malaysia
(TLDM) KD Sri Melaka 3147 Malaysia. Kemudian pada 16 Februari 2005, kontrak
bagi hasil antara Shell dan Perronas terjadi dan hal ini mendapat teguran Menlu
RI terhadap tindakan Shell. Pada 26 Februari 2005, sekitar pukul 10.00 Wita,
pesawat Malaysia jenis Beechcraft B-200 T Super King mendekati KRI Wiratno dan
memasuki wilayah Indonesia sekitar 3 mil dari titik batas. Kemudian pada
tanggal 1 Maret 2005, RI mengerahkan tiga kapal perang KRI Wiratno, KRI
Rencong, dan KRI Nuku untuk mengantisipasi maneuver pasukan Malaysia di Pulau
Sipidan dan Ligitan.
Hubungan antara Indonesia
dan Malaysia juga sempat memburuk pada tahun 2000- 2002 ketika kepulauan
Sipadan dan Ligitan di klaim oleh Malaysia sebagai wilayah mereka, dan
berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional (MI) di Den Haag, Belanda bahwa
Sipadan dan Ligitan merupakan wilayah Malaysia. Sipadan dan Ligitan merupakan
pulau kecil di perairan dekat kawasan pantai negara bagian Sabah dan Provinsi
Kalimantan Timur, yang diklaim dua negara sehingga menimbulkan persengkataan
yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Sipadan dan Ligitan menjadi
ganjalan kecil dalam hubungan sejak tahun 1969 ketika kedua negara mengajukan
klaim atas kedua pulau itu. Kedua negara tahun 1997 sepakat untuk menyelesaikan
sengketa wilayah itu di MI setelah gagal melakukan negosiasi bilateral. Kedua
belah pihak menandatangani kesepakatan pada Mei 1997 untuk menyerahkan
persengkataan itu kepada MI. MI diserahkan tanggung jawab untuk menyelesaikan
sengketa dengan jiwa kemitraan. Kedua belah pihak juga sepakat untuk menerima
keputusan pengadilan sebagai penyelesaian akhir sengketa tersebut. Selain itu,
pada 2005 terjadi sengketa mengenai batas wilayah dan kepemilikan Ambalat.
3. Masalah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di Malaysia
Malaysia merupakan Negara
yang banyak dikunjungi orang dari berbagai Negara. Hal ini tidak terlepas dari
perekonomian dari Negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang begitu maju dan
begitu juga dengan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga banyak mengundang
banyak orang dari luar negeri untuk datang. Daerah perkotaan dan megapolitan
seperti Kuala Lumpur, Johor, dan Putrajaya adalah pusat perekonomian yang
membutuhkan tenaga kerja sebagai pilar utama berjalannya roda ekonomi.
Etnis Melayu mendapatkan
kesejahteraan yang luar biasa sejak hak istimewanya dijamin dalam konstitusi.
Perlindungan Negara dan jaminan kesejahteraan dari Negara terhadap etnik ini
membuat mereka mendapatkan pekerjaan yang mapan dan kehidupan yang lebih dari
cukup.
Lalu buruh-buruh yang
bekerja di Malaysia itu berasal dari imigran yang berdatangan dari Negara-negara
lain, seperti Indonesia, Nepal, Bangladesh, India, Myanmar, Filipina, Thailand,
dan Pakistan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya imigrasi ini antara
lain (Annisa, 20009:212):
Tingginya kesempatan kerja di
Malaysia, terutama untuk kerja kasar dan kerja rendahan seperti buruh
konstruksi, buruh perkebunan kelapa sawit, dan pembantu rumah tangga, dan
lain-lain.
Nilai kurs mata uang Malaysia
yang tinggi di banding dengan mata uang Negara-negara asal.
Longgarnya aturan keluar masuk
ke Negara Malaysia, terutama di awal-awal era pembangunan dan modernisasi
sebelum pemerintah Malaysia membuat peraturan ketat untuk membatasi datangnya
imigran illegal dari luar negeri.
Banyaknya pengguran di
Negara-negara asal
Dll.
Secara khusus, tenaga
kerja asal Indonesia di Malaysia dari tahun ke tahun mengalami jumlah yang
tidak menurun, melainkan dari tahun ke tahun jumlahnya makin meningkat dan
jumlahnya paling tinggi di bandingkan dengan Negara-negara lain.
Komposisi Pekerja Luar
negeri Berdasarkan Asal-Usul negaranya (%) (Anissa, 2009: 213) adalah
Negara
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
Indonesia
Nepal
Bangladesh
India
Myanmar
Filipina
Thailand
Pakistan
Negara Lain
|
53,3
0,1
37,1
3,6
1,3
2,7
0,7
1,0
0,2
|
65,7
0,1
27,0
3,2
0,9
1,8
0,5
0,6
0,2
|
69,4
0,1
24,6
3,0
0,5
1,2
0,4
0,5
0,3
|
68,4
7,3
17,1
4,0
1,0
1,0
0,4
0,4
0,4
|
64,7
9,7
9,7
4,6
3,3
0,8
2,4
0,2
4,6
|
63,8
9,7
8,4
5,6
4,3
0,6
0,9
0,2
6,5
|
66,5
9,2
8,0
4,5
4,2
1,1
1,0
0,1
5,4
|
Total
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
TKI berperan dalam
penerimaan pertukaran mata uang asing Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan
uang kiriman dari TKI dari Malaysia itu akan dikirim ke Indonesia untuk
keluarganya, dan keluarganya akan menukarkan dengan uang Indonesia, sehingga
mata uang asing akan masuk di Indonesia dan akan tertulis sebagai penerimaan
uang asing. Uang asing yang diperoleh akan member makna yang baik kepada sumber
atau cadangan mata uang asing Indonesia. Menguatnya simpanan mata uang asing
akan mempengaruhi stabilitas nilai tukar mata uang rupiah dan secara langsung
akan mendorong pertumbuhan ekonomi kearah yang lebih baik.
Dilihat banyak kasus,
untuk mengatasi itu, Indonesia-Malaysia mengadakan kesepkatan terutama
permasalahan TKI (penganiayaan, deportasi TKI illegal, dll)di Indonesia sudah
terdapat Undang-Undang No.39 yaitu TKI mendapat perlindungan mulai dari awal
keberangkatan, saat bekerja di Luar negeri, hingga selesai kontrak kerja dan
pulang ke Indonesia.
Bagi Malaysia harus ada
kemauan untuk memberikan perlindungan dan penghormatan pada TKI. Karena Negara
Jiran itu juga mendapatkan banyak keuntungan dari keberadaan TKI yang berperan
besar dalam memperlancar pembangunan perekonomiannya (Anissa, 2009:215).
Keberadaan TKI ini akan
tetap menjadi isu yang menunjukkan dinamika hubungan antara Indonesia dengan
Malaysia. Karena, hingga sekarang sebagai kasus TKI masih saja terjadi, mulai
ada penganiayaan, deportasi TKI illegal, dll.
4. Masalah Pembalakan Liar
(Illegal Logging)
Penebangan liar adalah
kegiatan penebangan, pengangkutan, serta penjualan yang tidak sah atau tidak
memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun berapa pastinya angka penebangan
liar sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber
mengindikasikan bahwa lebih dari separo dari semua kegiatan penebangan hutan
itu bersifat liar atau tidak sah.
Penebangan liar itu
terjadi dalam kaitannya dengan meningkatnya kebutuhan kayu dipasaran
internasional, besarnya kapasitas industry kayu dalam negeri, konsumsi local,
lemahnya penegakan hukum dan pemutihan kayu, kerugian utama adalah terjadinya
penggunulan hutan. Laju deforestasi di Indonesia dalam lima tahun terakhir
mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Ini lah yang membuat hutan Indonesia
menjadi rusak (Anissa, 2009:222).
Bila keadaan seoerti ini
di biarkan maka Sulawesi, dan Papua akan menyusul Sumatera dan Kalimantan yang
sudah mengalami kerusakan hutan. Pembalakan liar merupakan kasus lain yang juga
harus diselesaikan oleh Indonesia dengan Malaysia. Dan bahwa kita lihat jelas
yang dirugikan adalah Indonesia, Malaysia adalah transit utama dari produk kayu
illegal dari Indonesia. Cukong-cukong kayu Malaysia membeli kayu dan membiayai
pencuri kayu dari hutan-hutan Kalimantan dan Papua. Kayu yang ditebang berasal
dari Indonesia, sedangkan kawasan Malaysia sendiri dibiarkan. Kayu-kayu curia
nasal dari Indonesia itu diberi label legal oleh Kuala Lumpur dan selanjutnya
dijual ke Eropa dan Jepang, baik dalam bentuk log, setengah jadi, maupun produk
furniture. Di Malaysia pun tumbuh industry kayu lapis dengan cepat yang
bahan-bahannya berasal dari kayu curian.
Dapat dikatakan bahwa
upaya Indonesia untuk menangani masalah tentang penebangan liar ini sudah
dibilang terlambat bahkan juga dapat dibilang efektif. Karena wataknya yang
korup, uang cukong-cukong itu mampu mengendalikan aparat keamanan, pemda, dan
birokrasi terkait dengan perkayuan. Di Malaysia sendiri para cukong itu
dianggap sebagai pahlawan.
Sehingga pada tahun 2006,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalampertemuan bilateral dua hari berlangsung
di Bukittinggi, Sumatra Barat menekankan pemtingnya kerja sama yang
komprehensif dalam mengatasi masalah pembalakan haram dan penyelundupan kayu
curian. Untuk menjawab keinginan ke dua kepala Negara tersebut, Men tri
kehutanan MS Kaban membentuk gugus tugas (task
force). Pertemuan bilateral selanjutnya juga diadakan untuk membahas
pembalakan liar dan penyelundupan kayu curian yang diadakan di Indonesia pada
Februari 2006, terutama membahas pembalakan haram di sepanjang perbatasan (Anissa,
2009:224).
Indonesia dan Malaysia
akhirnya menyepakati untuk bekerja sama untuk memerangi illegal logging dan
berupaya untuk meningkatkan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan.
Dengan demikian semua pihak di tingkat internasional akan menjadi jelas mana
kayu yang legal dan mana kayu yang illegal.
Selain itu, kedua
presiden itu menyepakati sgera dilakukannya kerja sama yang komprehensif untuk
menanggulangi masalah polusi asap yang melintasi berbagai Negara. Mereka
menyadari bahwa ppolusi itu akan datang dari dua arah, Malaysia maupun
Indonesia. Kerja sama kedua Negara dilaksanakan dalam pembuatan hujan buatan
serta pemadaman kebakaran hutan danlahan sejak awal timbulnya api. Kedua kepala
Negara juga memnyepakati untuk melakukan penindakan tetrhadap perusahaan yang
tidak bertanggung jawab dalamproses penyiapan lahan (Anissa, 2009:225).
2. Klaim Kepemilikan Seni
Budaya
Selain itu pula, Pada
Oktober 2007 terjadi konflik akan lagu Rasa Sayang-Sayange dikarenakan lagu ini
digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan
kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar Oktober 2007. Sementara Menteri
Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange
merupakan lagu Kepulauan Nusantara (Malay archipelago), Gubernur Maluku Karel
Albert Ralahalu bersikeras lagu "Rasa Sayange" adalah milik
Indonesia, karena merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi ini
sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu hanya mengada-ada. Gubernur berusaha
untuk mengumpulkan bukti otentik bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat
Maluku, dan setelah bukti tersebut terkumpul, akan diberikan kepada Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata. Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor
menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa membuktikan bahwa lagu Rasa
Sayange merupakan lagu rakyat Indonesia.
Lalu
Malaysia saat ini sedang dalam sengketa dengan Indonesia karena tuduhan
pencurian warisan dalam kampanye iklan pariwisata baru-baru ini. Banyak
lagu-lagu rakyat Indonesia diklaim oleh Malaysia, terutama Rasa Sayange lagu
yang mengakibatkan aduk antara kedua negara pada tahun 2007. Item kebudayaan
Indonesia yang lain juga telah diklaim sebagai asli Malaysia seperti angklung
alat musik, Batik tekstil tradisional, dan Wayang Kulit (wayang Jawa Tengah)
termasuk beberapa tarian tradisional seperti Reog (Ponorogo) dan Kuda Lumping
dari Jawa Timur, Bali Tari Pendet Tari, Ninang Tari Garinging tari dari
Sumatera Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar