Sesuai dengan prinsip yang dianut oleh pemerintah jajahan pada waktu itu untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah dengan cara member hak-hak yang istimewa kepada pihak penjajah dan kepastian hak, maka hukum agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi beraneka ragam. Sesuai dengan kondisi dan situasi dan perbedaan hukum golongan masyarakat adalah
1.
Hukum Agraria menurut sistim pemerintahan.
Sesuai
dengan sistem pemerintahan pada jaman Hindia Belanda, daerah Indonesia dibagi
atas 2 bagian yang mempunyai lingkungan hukum sendiri yaitu :
a.
Daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat dan
disebut dengan Daerah Gubernemen.
b.
Daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat yang disebut
dengan daerah swapraja.
Menurut
pasal 21 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan
oleh pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah gubernemen saja. Jika
peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus
dinyatakan dengan tegas di da1am peraturah tersebut bahwa juga berlaku untuk
daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan lain. Sebagai contoh :
1.
Pasal 1 Agrarisch Besluit (S. 1870 -118) tentang "tanah negara' (Staatsdornein)
tidak berlaku untuk daerah-daerahswapraja.
2.
“Tanah mentah “ (Woeste gronde) di daerah-daerah swapraja tidak ditetapkan
siapa pemiliknya menurut Pasal 1 Agrarisch Besluit.
Tanah-tanah
mentah tersebut berlaku menurut hukum adat didaerah-daerah Swaprajaitu sendiri.
Oleh karena peraturan-peraturan umum dari pemerintah pusat pada azasnya tidak
berlaku di daerah-daerah swapraja, maka jika dipandang perlu Pemerintah mengadakan
peraturan-peraturan sendiri bagi daerah-daerah swapraja dengan mengambil
sebagai pedoman peraturan-peraturan yang sudah berlaku di daerahdaerah gubernemen.
Sebagai contoh di daerah-daerah gubernemen di luar Jawa clan Madura berlaku
Ordonnantie Erfpact sebagai dimaksud dalam SJ914-387 sedangkan untuk daerahSwapraja
di luar Jawa dan Madura diadakan peraturan sendiri yaitu Ordonnantie Erfpacht
yang diatur dalam S 1919.
2.
Hukum Agraria di daerah Jawa dan Luar Jawa
Perbedaan
hukum agraria yang berlaku, karena perbedaan sistim pemerintahan antara daerah
gubernemen dan daerah swapraja di dalam penerapan dan pemberlakuan hukum untuk
Jawa dan Madura dengan luar Jawa dan Madura juga didakan perbedaan.
3.
Agrarische Wet
Sebagai
realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha
mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan
yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak
eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa
atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20
tahunsebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan
hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan,karena
masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact. Adanya
peraturan-peraturan pertanian besar akan bertentangan dengan politik perekonomian
Pemerintah (CultuursteIseI) yang memaksa penduduk menanam tanaman tertentu sesuai
dengan yang diperintahkan. Perjuangan memperkuat kedudukan pengusaha-pengusaha
pertanian di satu pihak dan penduduk di lain pihak terjadi pada tahun
1860-1870,dengan memajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian
yangdapat dilakukan di tanahtanah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia diberi
izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam rancangan wet
tersebut dimuat antara lain:
1.
Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun.
2.
Persewaan tanah negara tidak dibenarkan.
3.
Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur.
4.
Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom
5.
Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan.
6.
Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura.
Dengan
amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi hak eigendom, dan
milik adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870 dibawah
pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini ditetapkan dengan S. 1870-55.
4.
Pernyataan Tanah Negara (Domeinverklaring)
Sebagai
peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20
Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit) dengan S.
1870-118, yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura
sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu
ordonnantie. Pada pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang
pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut
suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak
dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat)
Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak
cigendom orang lain diatasnya.
5.
Hak-hak Atas Tanah menurut KUH Perdata (BW)
Dengan
berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang disamping berlakunya
hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hakhak atas tanah dikenal
hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata, buku kedua, tentang Hak
Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom,
opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak pinjam (bruikleen).
6.
Hak-Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat.
Hak
ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok
masyarakat hukum adat bertempat tinggal pertahankan hidup tempat berlindung
yang sifatnya magis-religius.
Di
dalam hak ulayat masyarakat hukumnya berhak mengerjakan tanah itu. Setiap
anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasanbatasan. Persekutuan
mengatur sampai di mana hak perseorangan dibatasi untuk kepentingan
persekutuan. Ada hubungan erat hak persekutuan dengan hak perseorangan. Setiap
anggota persekutuan diberi hak untuk mengerjakan tanah hak Ulayat di wilayahnya
dengan diberi izin yang disebut dengan hak wenang pilih. Jika sebidang tanah di
wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus
menerus maka hubungannya dengan Tanah itu semakin kuat, sebaliknya hubungan
tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama kelamaan tanah itu
akan di akui sebagai hak milik dari orang yang mengerjakannya.
Namun
apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya dimana hubungannya semakin renggang
dengan tanah itu, maka hubungan antara tanah itu dengan persekutuan semakin
erat kembali. Jika tanah tersebut ditinggalkan menjadi semak belukar, maka
tanah itu dianggap telah diterlantarkan, maka putuslah hubungan seseorang itu
dengan tanah tersebut. Orang-orang di luar desa hanya dapat mengerjakan tanah
dalam desa itu dengan membayar uang pengakuan lebih dahulu dan uang kerugian
setelah mengerjakan tanah. Jika orang luar masuk ke desa tersebut, maka ia
harus membayar upeti (hadiah) terlebih dahulu.
mbak dian, di buku apa dapat pengertian panti asuhan
BalasHapussudah saya cantumkan di bagian panti asuhan... terima kasih kunjugannya...
Hapus