Senin, 19 November 2012

Undang-Undang Agraria


Sesuai dengan prinsip yang dianut oleh pemerintah jajahan pada waktu itu untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah dengan cara member hak-hak yang istimewa kepada pihak penjajah dan kepastian hak, maka hukum agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi beraneka ragam. Sesuai dengan kondisi dan situasi dan perbedaan hukum golongan masyarakat adalah


1. Hukum Agraria menurut sistim pemerintahan.
Sesuai dengan sistem pemerintahan pada jaman Hindia Belanda, daerah Indonesia dibagi atas 2 bagian yang mempunyai lingkungan hukum sendiri yaitu :
a. Daerah yang diperintah langsung oleh atau atas nama Pemerintah Pusat dan disebut dengan Daerah Gubernemen.
b. Daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Pusat yang disebut dengan daerah swapraja.
Menurut pasal 21 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS), bahwa peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat hanya berlaku di daerah-daerah gubernemen saja. Jika peraturan-peraturan Pemerintah Pusat akan diberlakukan di daerah Swapraja harus dinyatakan dengan tegas di da1am peraturah tersebut bahwa juga berlaku untuk daerah Swapraja atau ditegaskan dengan suatu peraturan lain. Sebagai contoh :
1. Pasal 1 Agrarisch Besluit (S. 1870 -118) tentang "tanah negara' (Staatsdornein) tidak berlaku untuk daerah-daerahswapraja.
2. “Tanah mentah “ (Woeste gronde) di daerah-daerah swapraja tidak ditetapkan siapa pemiliknya menurut Pasal 1 Agrarisch Besluit.
Tanah-tanah mentah tersebut berlaku menurut hukum adat didaerah-daerah Swaprajaitu sendiri. Oleh karena peraturan-peraturan umum dari pemerintah pusat pada azasnya tidak berlaku di daerah-daerah swapraja, maka jika dipandang perlu Pemerintah mengadakan peraturan-peraturan sendiri bagi daerah-daerah swapraja dengan mengambil sebagai pedoman peraturan-peraturan yang sudah berlaku di daerahdaerah gubernemen. Sebagai contoh di daerah-daerah gubernemen di luar Jawa clan Madura berlaku Ordonnantie Erfpact sebagai dimaksud dalam SJ914-387 sedangkan untuk daerahSwapraja di luar Jawa dan Madura diadakan peraturan sendiri yaitu Ordonnantie Erfpacht yang diatur dalam S 1919.
2. Hukum Agraria di daerah Jawa dan Luar Jawa
Perbedaan hukum agraria yang berlaku, karena perbedaan sistim pemerintahan antara daerah gubernemen dan daerah swapraja di dalam penerapan dan pemberlakuan hukum untuk Jawa dan Madura dengan luar Jawa dan Madura juga didakan perbedaan.
3. Agrarische Wet
Sebagai realisasi dan keinginan pemerintah jajahan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil pertanian di Indonesia pemerintah berusaha mempersempit kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahunsebagai hak persoonliij. Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan,karena masih menghargai hak-hak adat yang tidak rnengenal adanya hak erfpact. Adanya peraturan-peraturan pertanian besar akan bertentangan dengan politik perekonomian Pemerintah (CultuursteIseI) yang memaksa penduduk menanam tanaman tertentu sesuai dengan yang diperintahkan. Perjuangan memperkuat kedudukan pengusaha-pengusaha pertanian di satu pihak dan penduduk di lain pihak terjadi pada tahun 1860-1870,dengan memajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yangdapat dilakukan di tanahtanah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam rancangan wet tersebut dimuat antara lain:
1. Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90 tahun.
2. Persewaan tanah negara tidak dibenarkan.
3. Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur.
4. Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom
5. Tanah komunal diganti menjadi milik, jasan.
6. Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura.
Dengan amandemen Portman tidak menyetujui hak milik adat menjadi hak eigendom, dan milik adat tetap dijamin permakaiannya. Akhirnya pada tahun 1870 dibawah pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische Wet ini ditetapkan dengan S. 1870-55.
4. Pernyataan Tanah Negara (Domeinverklaring)
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20 Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit) dengan S. 1870-118, yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu ordonnantie. Pada pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum (algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agrarian yaitu pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah tanah negara (domein vanden Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak milik) atau jika terbukti ada hak cigendom orang lain diatasnya.
5. Hak-hak Atas Tanah menurut KUH Perdata (BW)
Dengan berlakunya dualisme hukum pertanahan di Indonesia, yang disamping berlakunya hukum adat berlaku juga hukum barat, maka mengenai hakhak atas tanah dikenal hak-hak adat dan hak-hak barat di dalam KUH Perdata, buku kedua, tentang Hak Kebendaan, dikenal beberapa hak perorangan atas tanah, seperti hak eigendom, opstal, erfpacht, sewa hak pakai (gebruik) , hak pinjam (bruikleen).
6. Hak-Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat.
Hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal pertahankan hidup tempat berlindung yang sifatnya magis-religius.
Di dalam hak ulayat masyarakat hukumnya berhak mengerjakan tanah itu. Setiap anggota masyarakat dapat memperoleh bagian tanah dengan batasanbatasan. Persekutuan mengatur sampai di mana hak perseorangan dibatasi untuk kepentingan persekutuan. Ada hubungan erat hak persekutuan dengan hak perseorangan. Setiap anggota persekutuan diberi hak untuk mengerjakan tanah hak Ulayat di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak wenang pilih. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus maka hubungannya dengan Tanah itu semakin kuat, sebaliknya hubungan tanah itu dengan persekutuannya semakin renggang dan lama kelamaan tanah itu akan di akui sebagai hak milik dari orang yang mengerjakannya.
Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya dimana hubungannya semakin renggang dengan tanah itu, maka hubungan antara tanah itu dengan persekutuan semakin erat kembali. Jika tanah tersebut ditinggalkan menjadi semak belukar, maka tanah itu dianggap telah diterlantarkan, maka putuslah hubungan seseorang itu dengan tanah tersebut. Orang-orang di luar desa hanya dapat mengerjakan tanah dalam desa itu dengan membayar uang pengakuan lebih dahulu dan uang kerugian setelah mengerjakan tanah. Jika orang luar masuk ke desa tersebut, maka ia harus membayar upeti (hadiah) terlebih dahulu.

2 komentar:

  1. mbak dian, di buku apa dapat pengertian panti asuhan

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah saya cantumkan di bagian panti asuhan... terima kasih kunjugannya...

      Hapus