Mengenai kedatangan Islam di
Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan yang panjang diantara ahli sejarah,
mengenai tiga masalah pokok, yakni tempat asal kedatangan Islam, para
pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang
berusaha menjawab tiga masalah pokok ini belum tuntas. Tidak hanya kurangnya
data yang dapat mendukung teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari
berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat adanya suatu teori yang hanya
menekankan aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, tetapi mengabaikan
aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, kebanyakan teori yang ada dalam segi-segi
tertentugagal menjelaskan kedatangannya Islam, konversi agama yang terjadi, dan
proses Islamisasi yang terlihat di dalamnya (Supriyadi, 2008:188).
Islam di Indonesia baik secara historis
maupun sosiologis sangat kompleks, terdapat banyak masalah, misalkan tentang
proses awal perkembangan Islam. Namun terlepas dari semua itu, ada sebuah
kepastian bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai[1].
Tidak adanya catatan tentang peranan para penyebar Islam di Indonesia
memunculkan beberapa pendapat terkait kapan, darimana dan dimana pertama kali Islam
datang ke Indonesia. Palin tidak ada empat teori yang dimunculkan yaitu teori
India, teori Arab, teori Persia dan teori Cina (Huda, 2007: 32).
1. Teori
India
Ada
beberapa ahli yang mengemukakan bahwa Islam berasal dari Gujarat (India).
Pijnappel, seorang Profesor Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda
mengatakan bahwa Islam di Indonesia (Nusantara) bukan berasal dari
Arab
atau Persia secara langsung, tetapi berasal dari India, terutama dari pantai
barat yaitu Gujarat dan Malabar. Sebelum Islam sampai di Nusantara, banyak
orang bermazhab syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sana
Islam menyebar ke Nusantara (Drewes, 1983:8 dalam Huda, 2007:32).
Teori ini kemudian direvisi oleh C.
Snouck Hurgronje, yang mnyebutkan bahwa Islam yang tersebar di Hindia Belanda
(Indonesia) berasal dari wilayah Malabar dan Coromandel. Kota-kota tersebut
merupakan pelabuhan di India Selatan, setelah Islam berpeijak kuat di wilayah
tersebut. Penduduk yang berasal dari Deccan bertindak sebagai perantara dagang
antara negeri-negeri Islam dan penduduk di Indonesia. Selanjutnya orang-orang
dari Deccan dalam jumlah besar menetap di kota-kota pelabuhan di kepulauan
Indonesia untuk menyemaikan benih-benih agama Islam tersebut. Baru setelah itu,
datanglah orang-orang Arab yang menyebut diri mereka sayyid atau syarif selaku
keturunan Nabi Muhammad-yang melanjutkan Islamisasi di Nusantara. Orang-orang
ini menemukan kesempatan baik untuk menunjukkan keahlian organisasinya sehingga
mereka banyak yang bertindak selaku ulama, pengausa-penguasa agama dan Sultan
yang sering bertindak sebagai penegak pembentukan negeri-negeri baru
(Hurgronje, 1994:24 dalam Huda, 2007: 33).
Alasan Snouck Hurgronje bahwa Islam
di Indonesia berasal dari decacn adalah adanya kesamaantentang paham syafi’iyah
yang kini masih berlaku di Pantai Coromandel. Demikian pula pengaruh Syi’ah
yang masih meninggalkan sedikit jejaknya di Jawa dan Sumatera, yang dulunya
mempunyai penagruh kuat sebagaimana kini berlaku di India. Snouck Hurgronje
juga menyebutkan bahwa abad ke 12 sebagai periode yang paling mungkin dari awal
penyebaran Islam di Nusantara (Azra, dalam Huda, 2007:33).
Ahli lain yang menyatakan bahwa Islam
berasal dari anak benua India juga dikemukakan oleh J.P. Moquette. Menurut J.P
Moquette, kedatangan Islam di Jawa jauh lebih awal dari perkiraan tahun
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti yang berupa batu
nisan seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka
tahun 475 H atau 1082 M (Prabowo, dkk, 2003:11). Pengamatan Moquette juga
didasarkan pada pengamatannya terhadap bentuk batu nisan di Pasai yang
berangka 17 Dzulhijjah 831 H/27
September 1428. Dia juga mengamati bentuk nisan pada makan Maulana Malik
Ibrahim di Gresik Jawa Timur. Ternyata bentuk
batu nisan tersebut sama dengan
batu nisan di Cambay, Gujarat di pesisir India Selatan (Huda, 2007: 33).
Namun Ricklefs (1995:3) menyangsikan
apakah kuburan yang berbatu nisan tersebut benar-benar berada di Jawa ataukah
batu itu diangkat dan diletakkan di Leran beberapa waktu sepeninggal manusia
muslim itu karena beberapa alasan misalnya sebagai pemberat pada sebuah kapal.
Selain itu kesimpulan Moqueete ini juga dibantah oleh S.Q Fatimi yang sama-sama
mengikuti “teori batu nisan”. Menurutnya, batu nisan Malik as Saleh di Samudra
Pasai berbeda jauh dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu
nisan lain di Nusantara. Fatimi berpendapat bahwa bentuk dan gaya batu nisan
itu justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal (kini Bangladesh).
Ini didukung oleh batu nisan yang terdapat di makam Siti Fatimah binti Maimun
yang ditemukan di Leran Gresik Jawa Timur. Karenanya, fatimi menyimpulkan bahwa semua batu nisan
itu pasti diimpor dari Bengal. Dan ini dijadikan dasar Fatimi untuk menyatakan
bahwa asal-usul Islam berasal dari Bengal. Namun demikian, teori Gujarat dari
Moquette terlalu kuat untuk digeser oleh
teori dari Fatimi karena beberapa sarjana lain seperti R.A Kern, R.O. Winstedt,
G.H. Bousquet, B.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O. Schrieke dan D.G.E Hall
mendukung pendapat Moquette (Huda, 2007:34).
Menurut B.J.O Schrieke, Islam masuk
di Jawa pada tahun 1416 M. Hal ini dimungkinkan atas berita Ma Huan. Pada tahun
1416 Ma Huan, seorang muslim Cina, mengunjungi daerah pesisir Jawa dan
memberikan suatu laporan di dalam bukunya yang berjudul Ying-yai Sheng-Ian yang
ditulis pada tahun 1415. Dalam laporannya itu disebutkan tentang orang-orang Islam
yang bertempat tinggal di Gresik, termasuk orang-orang Islam dari Barat (Arab,
Persia dan Gujarat atau India) atau orang Cina (beberapa di antaranya beragama Islam)
(Prabowo,dkk, 2003:10-11).
Teori Gujarat sebagai tempat asal Islam
di Nusantara dipandang memiliki kelemahan menurut Morison. Alasannya, meskipun
batu-batu nisan tersebut berasal dari Gujarat atau Bengal, bukan berarti Islam
berasal dari sana. Dikatakannya, ketika Islamisasi Samudera Pasai yang raja
pertamanya wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan Hindhu.
Baru pada satu tahun berikutnya, cambay, gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan
Muslim. Ini artinya jika Islam Indonesia disebarkan oleh orang-orang Gujarat
pastilah Islam telah menjadi agama yang mapan sebelum 698 H/1297 sebelum
kematian Malik as Saleh. Atas dasar tersebut ia menyimpulkan bahwa Islam bukan
berasal dari Gujarat, tetapi dibawa para pendakwah Muslim di pantai Corommandel
akhir abad 13. Penadapatnya ini didukung oleh Thomas W. Arnold yang menyatakan
bahwa ada kemiripan antar mazhab syafi’i di Nusantara dengan yang dominan di
wilayah Corommandel dan Malabar (Huda, 2007:35).
1. Teori
Arab/Makkah
Islam dibawa ke Indonesia juga
dibawa oleh pedagang Arab. Para pedagang Arab ini terlibat aktif dalam
penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal
abad ke-7 dan ke-8 M. Asumsi ini didasarkan pada sumber-sumber Cina yang
menyebutkan bahwa menjelang perempatan abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin permukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Bahkan beberapa
orang Arab ini telah melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang
kemudia membentuk inti sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya telah
memeluk Islam.
Teori Arab tersebut semula
dikemukakan oleh Crawfurd yang mengatakan bah Islam dikenalkan pada masyarakat
di nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa
Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor
penting. Teori Arab ini, dengan sedikit pengembangan didukung Keyzer yang
berpendapat bahwa Islamdi neegeri ini berasal dari Mesir. Hal senada juga
dikemukakan Niemann dan de Hollander,
dengan sedikit versi yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari
Hadramaut. Sementara P.J. Veth berpandangan bahwa orang-orang Arab yang
melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam penyebaran Islam
di permukiman baru mereka di Nusantara (Huda, 2007:36).
Sejumlah ahli Indonesia dan beberapa
ahli Malaysia mendukung teori Arab dan
madzab tersebut. Dalam seminar-seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia
yang diadakan pada 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam datang langsung
dari Arab, bukan dari India. Hasjmy
(1993:7) (dalam Huda, 2007:36) menyebutkan bahwa Islam datang pertama kali
datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-12 atau 13 M.
Uka Tjandrasasmita, pakar sejarah
dan arkeologi Islam menduga bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 dan
ke-8 M. Pada abad ini, dimungkingkan orang-orang Islam dari Arab, Persia dan
India sudah banyak yang berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan
Asia Timur. Kemajuan perhubungan pelayaran pada abad-abad tersebut sangat
mungkin sebagai akibat persaingan di antara kerajaan-kerajaan besar ketika itu,
yakni Kerajaan Bani Umayyah di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara
dan kekuasaan Cina di bawah dinasti tang di Asia Timur (Hourani (1951:62) dalam
Huda, 2007: 36).
Pendukung teori Arab lainnya adalah
Syed Muhammad Naquib al Attas, pakar kesusasteraan Melayu yang mengatakan bahwa
bukti paling penting yang dapat dipelajari ketika mendiskusikan kedatangan Islam
di kepulauan Melayu-Indonesia adalah karakteristik internal Islam itu sendiri
di kawasan ini. Dia menggagas suatu hal yang disebut sebagai teori umum Islamisasi
Kepulauan Melayu-Indonesia yang umumnya didasarkan pada sejarah literatur Islam
Melayu dan sejarah pandangan dunia (worldview)
Melayu Indonesia, sebagaimana yang dapat dilihat melalui perubahan konsep dan
istilah kunci dalam literatur Melayu pada abad 10 sampai 11M atau abad 16
sampai 17 M (Huda, 2007:37).
2. Teori
Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar
teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam
Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura
atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung
oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut
dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan
bubur Suro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut
Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam
sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik
Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di
Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar
Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Hoesein Djajadiningrat mengemukakan
pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajadiningrat dikenal
sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas
Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudul Critische
Beschouwing van de Sadjarah Banten(Pandangan Kritis Mengenai Sejarah
Banten). Menurut Hoesein Djajadiningrat , Islam yang masuk ke Indonesia berasal
dari Persia. Djajadiningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura
sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia
berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih
dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajadiningrat juga yakin dengan
pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di
Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam
sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaranwihdatul wujud Al-Hallaj,
seorang Sufi ekstrem yang berasal dari tanah Persia. Jadi, menurut teori ini,
dahulu orang-orang Syi’ah yang dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari
Timur Tengah sebelah utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah
selatan –dibawah pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir– sampai ke Yaman.
Kemudian mereka semua secara lahir menganut mazhab Syafi’i. Mereka bertaqiyyah
sebagai pengikut mazhab Syafi’i di daerah Yaman, Hadramaut. Dari Hadramaut
inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya kaum ‘Alawiy,
orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai keturunan Sayyid.
Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam.
4.
Teori Cina
Islam disebarkan dari Cina telah
dibahas oleh SQ Fatimi. Beliau
mendasarkan torinya ini kepada perpindahan orang-orang Islam dari Canton
ke Asia tenggara sekitar tahun 876 . Perpindahan ini dikarenakan adanya
pemberontakan yang mengorbankan hingga 150.000 muslim. Menurut Syed Naguib
Alatas, tumpuan mereka adalah ke Kedah dan Palembang (Alatas, 1969:11).
Hijrahnya mereka ke Asia Tenggara
telah membantu perkembangan Islam di kawasan ini. Selain Palembang dan Kedah,
sebagian mereka juga menetap di Campa, Brunei, pesisir timir tanah melayu
(Patani, Kelantan, Terengganu dan Pahang) serta Jawa Timur. Bukti-bukti yang
menunjukan bahwa penyebaran Islam dimulai dari Cina adalah ditemukannya : batu
nisan syekh Abdul Kadir bin Husin syah Alam di Langgar, Kedah bertarikh 903 M,
batu bertulis Phan-rang di Kamboja bertahun 1025 M, batu isan di pecan Pahang
bertahun 1028 M, batu nisan puteri Islam Brunei bertahun 1048 M, batu bersurat
Trengganu bertahun 1303 M dan batu nisan Fathimah binti Maimun di Jawa Timur
bertarikh 1082 M.
Teori Cina menyatakan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara (terutama di P. Jawa), dibawa oleh komunitas Cina-Muslim. Teori ini dipelopori oleh Sumanto al Qurtuby(2003), yang data datanya diperkuat antara lain dari H.J. De Graaf & Pigeaud (1985,1998), Amen Budiman (1979) dan Denys Lombard (1994,1996) serta Slamet Muljana (cetakan kedua th. 2005). Teori Cina yang menyatakan masuknya Islam ke Jawa abad ke 15 dan 16, didukung oleh Sumanto Al-Qurtuby (2003), dimana pada abad-abad tersebut disebutnya sebagai jaman Sino-Javanese Muslim Culture dengan bukti di lapangan seperti: Konstruksi Mesjid Demak (terutama soko tatal penyangga mesjid), ukiran batu padas di Mesjid Mantingan, hiasan piring dan elemen tertentu pada mesjid Menara di Kudus, ukiran kayu di daerah Demak, Kudus dan Jepara, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik. Sunan Giri wafat pada th. 1506. Pintu makamnya di Gresik dihiasi dengan ukiran kayu yang sangat indah dengan motif gaya Cina yang kuat sekali (Lombard, 2, 1996:48).
[1]
Kawasan Islam di Asia
Tenggara merupakan konsekuensi dari penyebaran Islam yang umumnya bersifat
damai (penetration pacifique) di
Nusantara. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah, yang dalam beberapa
kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh bala tentara muslim, Islam di
Asia Tenggara terutama disebarkan oleh guru-guru agama dan dari pengembara yang
bisa dipastikan kebanyakan mereka adalah para sufi atau pada batas tertentu,
para pedagang (Azra, 1999: 8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar