A.
Kerajaan
Demak
Demak adalah kesultanan atau kerajaan Islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini
didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden Patah adalah
bangsawan kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara,
Demak. Pamor kesultanan ini didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas
sembila orang ulama besar, pendakwah Islam paling awal di pulau jawa.
Atas bantuan daerah-daerah lain yang
sudah lebih dahulu menganut Islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, Raden patah
sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu,
Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan
proklamasi itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar
Sultan Syah Alam Akbar.
Pada awal abad ke
14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri kepada
raja Brawijaya V di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri
yang cantik jelita dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja.
Raja brawijaya sangat tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga
membawa banyak pertentangan dalam istana majapahit. Pasalnya sang putri telah
berakidah tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki permaisuri yang berasal
dari Champa (sekarang bernama Kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Raden Patah memiliki adik laki-laki
seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah bersama
adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Raden patah mendalami agama Islam bersama pemuda-pemuda lainnya,
seperti raden Paku (Sunan Giri), Makhdum ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden
Kosim (Sunan Drajat). Setelah dianggap lulus, raden patah dipercaya menjadi
ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia diiringi oleh Sultan
Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah memusatkan kegiatannya di
Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh Walisanga sebagai pusat
kerajaan Islam di Jawa. Raden
patah memerintah Demak hingga tahun 1518, dan Demak menjadi pusat
penyebaran Islam di Jawa sejak pemerintahannya.
Secara beruturut-turut, hanya tiga
sultan Demak yang namanya cukup terkenal, Yakni Raden Patah sebagai raja
pertama, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai raja kedua, dan Sultan
Trenggana, saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524 – 1546).
Dalam masa pemerintahan Raden Patah,
Demak berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya adalah perluasan dan
pertahanan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan
musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan Raden Patah dalam
perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia melanklukkan Girindra
Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih
kekuasaan majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawan terhada
portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak.
Dalam bidang dakwah Islam dan
pengembangannya, Raden patah mencoba menerapkan hukum Islam dalam berbagai
aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid
(1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian
masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.
Di antara ketiga raja demak Bintara,
Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke masa
jayanya. Pada masa trenggana,
daerah kekuasaan demak bintara meliputi seluruh jawa serta sebagian besar
pulau-pulau lainnya. Aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Trenggana berhasil
memperkuat dan memperluas kekuasaan demak. Di tahun 1527, tentara demak
menguasai tuban, setahun kemudian menduduki Wonosari (purwodadi, jateng), dan
tahun 1529 menguasai Gagelang (madiun sekarang). Daerah taklukan selanjutnya
adalah medangkungan (Blora, 1530), Surabaya (1531), Lamongan (1542), wilayah
Gunung Penanggungan (1545), serta blambangan, kerajaan hindu terakhir di ujung
timur pulau jawa (1546).
Di sebelah barat pulau jawa,
kekuatan militer Demak juga merajalela. Pada tahun 1527, Demak merebut Sunda
Kelapa dari Pajajaran (kerajaan Hindu di Jawa Barat), serta menghalau tentara
tentara portugis yang akan mendarat di sana. Kemudian, bekerja sama dengan
saudagar Islam di Banten, Demak bahkan berhasil meruntuhkan Pajajaran.
Di timur laut, pengaruh demak juga
sampai ke Kesultanan banjar di kalimantan. Calon pengganti Raja Banjar pernah
meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara, guna menengahi masalah
pergantian raja banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat
jawa pun masuk Islam, dan oleh seorang ulama dari Arab, sang pewaris tahta
diberi nama Islam. Selama masa kesultanan Demk, setiap tahun raja Banjar
mengirimkan upeti kepada Sultan Demak. Tradisi ini berhenti ketika kekuasaan
beralih kepada Raja Pajang.
Di masa jayanya,
Sultan Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana
memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya
telah diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan
Majapahit.
Trenggana sangat gigih memerangi
portugis. Seiring perlawanan Demak terhadap bangsa portugis yang dianggap
kafir. Demak sebagai kerajaan Islam terkuat pada masanya meneguhkan diri
sebagai pusat penyebaran Islam pada abad ke 16. Sultan Trenggana meninggal pada
tahn 1546, dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuran. Ia kemudian digantikan
oleh Sunan Prawoto. Setelah sultan trenggana mengantar Demak ke masa jaya,
keturunan sultan tersebut silih berganti berkuasa hingga munculnya kesultanan
pajang.
Masjid agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi
tak terpisahkan dari kesultanan Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat
di Masjid itu. Di sanalah tempat kesembilan wali bertukar pikiran tentang
soal-soal keagamaan.
Masjid Demak didirikan oleh
Walisanga secara bersama-sama. Babad demak menunjukkan bahwa masjid ini didirikan
pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala Lawang Trus
Gunaning Janma, sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini
terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri pada
tahun 1479.
Pada awalnya,
majid agung Demak menjadi pusat kegiatan kerajaan Islam pertama di jawa.
Bagunan ini juga dijadikan markas para wali untuk mengadakan Sekaten.
Pada upacara sekaten, dibunyikanlah
gamelan dan rebana di depan serambi masjid, sehingga masyarakat berduyun-duyun
mengerumuni dan memenuhi depan gapura. Lalu para wali mengadakan semacam
pengajian akbar, hingga rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua
kalimat syahadat.
B.
Kesultanan
Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa Barat. Kerajaan
ini berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak kesultanan Cirebon
adalah di pantai utara pulau Jawa. Lokasi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa
Barat membuat Kesultanan Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan
Sunda. Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Pada awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama Caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.
Pada awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama Caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya Alam dari pedalaman,
Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara jawa. Dari
pelaburan Cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung
antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, tidak
kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh menjadi pusat
penyebaran Islam di Jawa Barat.
Dalam buku “Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon
1479-1809” dijelaskan bahwa ada beberapa proses yang terjadi terkait
pertumbuhan Islam di Cirebon yaitu:
1. Tahun
1415 berlabuh kapal dari Armada Te Ho bersama sekretarisnya Ma Huang
2. Tahun
1418 telah datang rombongan pedagang dari Campa, dimana terdapat Syeh Hasanudin
bin Yusuf Sidik seorang ulama penyiar
Islam
3. Tahun
1418 Putri Ki Gedeng Tapa Nhay Subang Larang disuruh ayahnya belajar ilmu agama
Islam di pesantren Syeh Quro di Karawang
4. Tahun
1420 datang rombongan ulama bernama Syeh Datuk Kahfi.
Walangsungsang adalah putra prabu
Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa.
Setelah ki gedeng alang-alang meninggal walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi
diangkat sebagai Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran
Cakrabuana.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan banten, serta menyebar Islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan Cirebon sejak tahun 1568.
Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para sultan Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke Mataram.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. – 1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan banten, serta menyebar Islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan Cirebon sejak tahun 1568.
Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para sultan Gunung Jati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin (pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan Mataram. Banten curiga, sebab cirebot dianggap mendekat ke Mataram.
Di lain pihak, Mataram
pun menuduh Cirebon tidak lagi sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena
panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari banten adalah sama-sama keturunan
pajajaran. Kondisi panas ini
memuncak dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura.
Ia lalu dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi sejajar dengan
makam sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga
menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan
Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra
panembahan Girilaya di tahan di Mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram.
Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan Girilaya yang
ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon. Bersama satu
lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai penguasa
kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya,
pangeran Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di
tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu
dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya, yakni :
1.
Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan,
dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
2.
Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan
gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 –
1713)
Perubahan gelar dari “panembahan”
menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan
Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi sultan Cirebon di Ibukota
banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing.
Pergantian kepemimpinan para Sultan di
Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom
IV (1798 – 1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya,
yaitu pangeran raja kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama kesultanan KaCirebonan.
Kehendak raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon.
Kehendak raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda mengajukan satu syarat, yaitu agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon.
C.
Kerajaan
Banten
Banten awalnya merupakan salah satu
dari pelabuhan kerajaan Sunda. Pelabuhan ini direbut 1525 oleh gabungan dari
tentara Demak dan Cirebon. Setelah ditaklukan daerah ini diislamkan oleh Sunan
Gunung Jati. Pelabuhan Sunda lainnya yang juga dikuasai Demak adalah Sunda
Kelapa, dikuasai Demak 1527, dan diganti namanya menjadi Jayakarta.
Kerajaan Banten yang letaknya di
ujung barat Pulau Jawa dan di tepi Selat Sunda merupakan daerah yang strategis
karena merupakan jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah
Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai bangsa. Pelabuhan Banten
juga cukup aman, sebab terletak di sebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau
Panjang, dan di samping itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor
seperti lada.
Selain perdagangan kerajaan Banten
juga meningkatkan kegiatan pertanian, dengan memperluas areal sawah dan ladang
serta membangun bendungan dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk
memperlancar arus pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan. Dengan
demikian kehidupan ekonomi kerajaan Banten terus berkembang baik yang berada di
pesisir maupun di pedalaman.
Kehidupan masyarakat Banten yang
berkecimpung dalam dunia pelayaran, perdagangan dan pertanian mengakibatkan
masyarakat Banten berjiwa bebas, bersifat terbuka karena bergaul dengan
pedagang-pedagang lain dari berbagai bangsa. Para pedagang lain tersebut banyak
yang menetap dan mendirikan perkampungan di Banten, seperti perkampungan
Keling, perkampungan Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan
sebagainya. Di samping perkampungan seperti tersebut di atas, ada perkampungan
yang dibentuk berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi),
Kampung Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para ulama).
Berkembangnya kerajaan Banten tidak
terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Berikut ini silsilah Raja-raja Banten sampai
dengan Sultan Agung Tirtayasa.
Dalam perkembangan politiknya,
selain Banten berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Demak, Banten juga
berusaha memperluas daerah kekuasaannya antara lain Pajajaran. Dengan
dikuasainya Pajajaran, maka seluruh daerah Jawa Barat berada di bawah kekuasaan
Banten. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan raja Panembahan Yusuf.
Pada masa pemerintahan Maulana
Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha
menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu
dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang
mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan
serangan ke Palembang.
Dengan dikuasainya
pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka
kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan berkembang sebagai
kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa. Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak keemasannya Banten
menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa seperti Arab,
Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda.
Belanda pada awalnya datang ke
Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka
para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di
Jayakarta. Di Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602.
Selain mendirikan benteng di
Jayakarta VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia
tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya kekuasaan
Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan. Persaingan
tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng
Tirtayasa sangat anti kepada VOC.
Untuk menghadapi tindakan Sultan
Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng
dengan putranya yaitu Sultan Haji. Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka
terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam
perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang
saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan kemenangan Sultan Haji,
maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai
meninggalnya tahun 1692. Sultan Haji harus menandatangani perjanjian dengan VOC
tahun 1684. Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan
Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena
Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah
kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena VOC mengatur dan
mengendalikan kekuasaan raja Banten.
D.
Kerajaan
Pajang
Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Adiwijaya pada
tahun 1568,
tidak berumur panjang. Kerajaan Pajang terus mengadakan ekspansi ke Jawa
Timur. Setelah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa lokal di Jawa Timur
Raja Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa dalam
penaklukan-penaklukannya, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng
Panjawi. Ki Ageng Pamanahan yang telah berjasa dalam pertempuran melawan
Aria Panangsang, diberi kekuasaan di Mataram, sedangkan Ki Ageng Panjawi
diberi kekuasaan di Pati.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan (1584), putranya yang bernama
Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya), menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Adipati Mataram dan sekaligus diangkat sebagai panglima
tentara Pajang. Setelah Sultan Adiwijaya meninggal tahun 1582, takhta Pajang direbut Aria Pangiri (menantu Adiwijaya). Putra Adiwijaya yang bernama Pangeran Banowo meminta bantuan kepada Adipati Mataram, Panembahan Senopati, untuk merebut takhta kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke Banten, sementara Pangeran Banowo menyerahkan takhta kerajaan kepada Panembahan Senopati. Berakhirlah Kerajaan Pajang dan selanjutnya berdirilah Kerajaan Mataram.
tidak berumur panjang. Kerajaan Pajang terus mengadakan ekspansi ke Jawa
Timur. Setelah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa lokal di Jawa Timur
Raja Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa dalam
penaklukan-penaklukannya, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng
Panjawi. Ki Ageng Pamanahan yang telah berjasa dalam pertempuran melawan
Aria Panangsang, diberi kekuasaan di Mataram, sedangkan Ki Ageng Panjawi
diberi kekuasaan di Pati.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan (1584), putranya yang bernama
Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya), menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Adipati Mataram dan sekaligus diangkat sebagai panglima
tentara Pajang. Setelah Sultan Adiwijaya meninggal tahun 1582, takhta Pajang direbut Aria Pangiri (menantu Adiwijaya). Putra Adiwijaya yang bernama Pangeran Banowo meminta bantuan kepada Adipati Mataram, Panembahan Senopati, untuk merebut takhta kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke Banten, sementara Pangeran Banowo menyerahkan takhta kerajaan kepada Panembahan Senopati. Berakhirlah Kerajaan Pajang dan selanjutnya berdirilah Kerajaan Mataram.
E.
Kerajaan
Mataram Islam
Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing
Alaga
(Sutawijaya) (1584-1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletak
di Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam
pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613).
(Sutawijaya) (1584-1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletak
di Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam
pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613).
Pada tahun 1602, Pangeran Puger, saudara sepupu raja yang
telah diangkat sebagai penguasa Demak melakukan
pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa mundur, namun sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan
dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram
adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam
bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang
didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan
Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan
tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan
dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram
adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam
bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang
didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan
Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan
tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung
mengarang kitab sastra
gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga
menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang
sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan
tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram
dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah
kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak
hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status
kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun
Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid
besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha
melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629
dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar. Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba
lagi melakukan serangan kedua. Serangan ini pun ternyata mengalami kegagalan
pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan
Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang
beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara
Sultan Agung. Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa
minggu, pihak Sultan Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit dan kelaparan.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah
kerajaan, yaitu:
menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang
sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan
tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram
dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah
kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak
hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status
kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun
Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid
besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha
melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629
dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar. Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba
lagi melakukan serangan kedua. Serangan ini pun ternyata mengalami kegagalan
pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan
Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang
beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara
Sultan Agung. Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa
minggu, pihak Sultan Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit dan kelaparan.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah
kerajaan, yaitu:
1. Daerah kesultanan Yogyakarta
yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono I.
Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono I.
2. Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono.
Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi
beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja
yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.]
this is just amazing and good , thanks
BalasHapusthis is so good thanks
BalasHapusbagus,bisa bantu pr ips
BalasHapusTerima kasih penjelasan tentang sejarah kerajaan Islam di Indonesia yang lengkap ini. Salam kenal....
BalasHapusTerima kasih penjelasannya tentang kerajaan Islam di Jawa yang cukup lengkap ini
BalasHapusmakasih bro
BalasHapusterima kasih kunjungannya ya....
BalasHapus