Pengertian pernikahan dini menurut agama Islam adalah
pernikahan yang dilakukan orang yang belum baligh atau belum mendapat
menstruasi pertama bagi seorang wanita. Tetapi sebagian ulama Muslim juga
memperbolehkan pernikahan dibawah umur dengan dalil mengikuti sunnah rasul
karena sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi Muhammad pada
usia yang sangat belia sekali sedangkan Muhammad telah berusia 50-an tahun pada
saat itu. Disamping itu, pernikahan dini juga dinilai dapat mempertahankan
norma-norma agama yaitu menghindarkan pasangan muda-mudi dari dosa seks akibat
pergaulan bebas. Sehingga sebagian orang mengartikan bahwa tujuan dari
pernikahan adalah menghalalkan hubungan seks.
Pernikahan Dini Menurut Islam
Perkawinan mempunyai arti dan
kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan
perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang
berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu
keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok
masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Istilah pernikahan dini adalah istilah
kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu,yakni sangat di awal waktu tertentu.
Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang yang hidup pada
awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-14
tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa.
Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang
menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak
wajar, "terlalu dini" istilahnya.
Hukum Islam secara umum meliputi
lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan
akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama
menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya
al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang
mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak
mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin
kabur.
Terlepas dari semua itu, masalah
pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran
sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak
dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik
dalam merespons kasus tersebut.
Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama
melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai
esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan
keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia
lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan
diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis,
sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw
dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap
sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum
Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi
dari Surat al Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah
dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini
merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan
pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana
yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas,
sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah
sangat rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah
menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah
”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang
waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah)
orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam
kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12
tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut
dibebankan atas orang tuanya”.
Pada hakekatnya, penikahan dini juga
mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh
pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan
yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai
tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral
bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis,
pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif
tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika
sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan
syara’.
Pernikahan
Usia Dini menurut Undang-Undang
Berdasarkan pasal 45 KUHP, dan berdasarka
Undang-Undang Peradilan Anak.
“Jika
seorang yang di bawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika
umurnya belum cukup 16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya anak tersebut
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak
dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannya supaya diserahkan pemerintah
dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman”
Berdasarkan pasal 45 KUHP di atas,
pengertian anak adalah seorang yang di bawah umur adalah yang berusia belum 16
tahun.
Undang-undang negara kita telah
mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7
ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam
belas tahun) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam
menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan
berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar
siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran,
pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang
dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan
dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh
karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk
pria dan 16 tahun untuk wanita.
Kesimpulan
Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia
pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua
boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh
Puji syah secara fikih.Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.
Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.
Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.
Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.
Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar