Pesantren
berfungsi sebagai tolak dan dasar berpijak bagi organisasi swadaya dan
digunakan oleh penduduk sebagai jawaban atas marginalisasi yang kian meningkat
oleh administrasi negar yang eksploitatif (Ziemek, 1986:179).
Perubahan Dalam Usaha
Pendidikan
Proses
peruahan dalam isi, cara dan kelompok tujuan, yang berlangsug dalam
perkembangan pendidikan pesantren, telah diuraikan dalam pembahasan sejarah dan
di sini hanya akan dilanjutkan dari perspektif orientasi lingkungan yang
meningkat.
Berdasarkan
kedudukan sosial dan politik pesantren terhadap lingkungan yang mengelilingi
dan mendukungnya, terdapat hal-hal yang dapat dibedakan; atasdasar ini
berlangsung proses perubahan yang khas (Ziemek, 1986:180):
-
Program pendidikan
tradisional dalam lingkungan intern, yang terarah pada santri, dibedakan dan
diperluas dengan isi non-agama dan dimodernisasi metodenya.
-
Dengan partisipasi yang
semakin kuat dari pesantren dalam kegiatan-kegiatan lingkungan, maka pesantren
semakin mengambil alih fungsi pusat-pusat pengembangan lingkungan. Kesanggupan
tradisionalnya untuk memobilisasi sumber daya masyarakat pedesaan, sekarang lebih
banyak dimanfaatkan untuk rencana-rencana pengembangan infrastruktur ketimbang
untuk tujuan keagamaan.
-
Sebagai akibat
re-orientasi ini, maka kedudukan pimpinan pesantren juga berubah dalam proses
pengambilan keputusan lingkungan.
Untuk menjamin peranan
sosia dan politik pendidikannya di alam Indonesia modern, pesantren mulai
mengambil alih tugas-tugas baru dan tambahan. Dengan demikian lebih kukuh
mengurus perkembangan lingkungan masyarakatnya dengan menangani suatu bidang,
yang diabaikan oleh konsep pembangunan Negara. Disini pesantren menemukan
lapangan baru, untuk menunjang proses perubahan sosial, lewat pendidikan
sebagai tenaga terpadu (Ziemek, 1986:181).
Pengembangan Lingkungan
Sebagai Wahana Pendidikan
Partisipasi
aktif dari pesantren yangjumlahnya semakin banyak pada rencana pembangunan
lingkungan dalam bentuk ini merupakan gejala baru dan seolah-olah akibat dari
dinamika, yang dalam masa panca colonial diinduksi oleh banyak desakan budaya,
politik, sosial dan ekonomi, terhadap mana sekarang ini pesantren bereaksi
dengan berbagai cara. Terutama dalam hal ini terdapat kesadaran baru mengenai
peranan Islam dalam Indonesia modern dan kemauan, secara aktif, turut membentuk struktur sosial yang cepat berubah
(Ziemek, 1986:187).
Pesantren
merasakan pengaruh-pengaruh strategi pembangunan Negara sebagai obyek, oleh
karena sebagai organisasi-organisasi yang berakar dalam lingkungan pedesaan. Di
samping pengaruh-pengaruh positif dari modernisasi sosial, ekonomi, mereka
juga harus merasakan efek sampingan,
akibat peningkatan polarisasi ekonomi dari penduduk dengan mayoritas yang
semakin miskin dan berkurangnya partisipasi pada proses pengambilan keputusan dari rencana
pembangunan Negara. Sehubungan dengan itu peristiwa marginalisasi dianggap
sebagai perkembangan yang mengakibatkan suatu kecenderungan berkurangnya
partisipasi mayoritas penduduk pedesaan pada keputusan-keputusan politik
lingkungan yang langsung mengenainya dan bertalian dengan itu, juga pada
peningkatan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan pokok (Ziemek, 1986: 188-189).
Upaya
mencapai kebebasan, kemandirian, memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya
sendiri yang potensial adalah unsure sosialisasi yang mutlak dalam pesantren.
Pada aktu bersamaan hal-hal tersebut menjadi syarat bagi kehidupan menurut
moral dan etika Islam (Ziemek, 1986: 189).
Akan
tetapi terutama tergantung pada kesadaran masing-masing kyai, sampai di mana
mereka bersedia untuk memperluas usaha pendidikan keagamaan tradisional sesuai
dengan itu. Karena posisi yang menentukan dari pemimpin agama: akhirnya
pengertian dan penafsirannya mengenai perubahan-perubahan sosial-ekonomi di
masing-masing lingkungan sehubungan dngan ruang lingkup tugas pendidikan
keagamaannya, menentukan apakah berfaedah memperluas usaha pesantren dengan
program pendidikan dan perkembangan sekuler (Ziemek, 1986:190).
Peranan Politik
Pesantren
Pesantren
sehubungan dengan peranan politik kemasyarakatan berada dalam tatanan hubungan,
yang mempunyai tiga komponen, yaitu: pesantren (dan/atau Kyai), masyarakat,
kelembagaan Negara (pemerintahan daerah/ lingkungan instansi Negara) (Ziemek,
1986:191).
Pesantren
atau pemimpin pesantren secara nyata mempunyai peranan yang berpengaruh pada
proses pengambilan keputusan masyarakat. Selain dari itu juga mereka dapat
mempengaruhi masyarakatnya, hingga melampaui batas bilamana mereka menggunakan
hubungan pribadi formal dan informal dan hubungan resmi dengan pengambil
keputusan dan sanggup membela kepentingan vital mereka dalam pusat-pusat
kekuasaan politik (Partai Islam, Parlemen, Departemen Agama, Majelis Ulama)
(Ziemek, 1986:196).
Konsep Pembangunan
Berdasar Kemasyarakatan
Adapun
kecenderungan-kecenderungan pengajaran pesantren untuk berorientasi
kemasyarakatan secara secular dan lebih kuat telah dibagi dan direalisasi dalam
jenjang berikut (Ziemek, 1986:197:
-
Isi pendidikan secular
ditambah pada mata pelajaran yang tradisional; madrasah dan kemudian juga
sekolah-sekolah yang terbuka bagi masyarakat sekelilingnya di gabungkan pada
pesantren/
-
Memperkuat interaksi
antara masyarakat dan pesantren, di
dalamnya program pendidikan secular dan keagamaan untuk penduduk desa
diorganisasi atau program pembangunan desa dalam swadaya masyarakat di
bangkitkan dan turut di dukung oleh pesantren.
Keanekaragaman
dan individualitas luar biasa dari pesantren menghendaki, bahwa kecebderungan
untuk memodernisasi ilmu pendidikan pesantren memang jelas terlihat. Akan
tetapi di pihak lain ia tidak berlaku umum bagi semua pesantren. Dalam alam
modern Indonesia terdapat berbagai bentuk pesantren sejajar satu dengan
lainnya: pesantren yang seperti biasa masih terisolasi dari masyarakat dan
semata-mata bersifat keagamaan, sampai pada “pusat pendidikan masyarakat”
terpadu, dimana para santri penduduk desa membentuk suatu masyarakat belajar.
Kerja Sama Pesantren dengan
Lembaga Swasta
Sejak
awal tahun 70-an terdapat minay yang semakin meningkat terhadap peranan bentuk
pendidikan tradisional, oleh karena padanya ditemukan alat yang lebih
berpotensi untuk memajukan penduduk Islam pedesaan. Prakarsa datang dari dua
pihak (Ziemek, 1986:211):
-
Dari mentri Agama Prof.
Mukti Ali, yang mndorong perluasan horizontal lebih kuat dari kegiatan
pendidikan pesantren, yang juga harus mencakup pelajaran bukan hanya keagamaan.
Sumbangan pesantren sebagai komponen sistem pendidikan nasional yang terutama
mengarah kepada penduduk desa, harus dibantu dan ditingkatkan.
-
Dan para ilmuwan dan
akademisi muda Islam yang mengenal secara dini potensi pesantren yang strategis
untuk pembangunan. Mereka mencari dialog dengan para Kyai yang berpengaruh dan
terbuka serta cendekiawan Islam tentang pentingnya penyesuaian dan pembaharuan
sektor pendidikan tradisional.
Karena
motivasi dan iktikad kedua pihak tidak bertentangan, maka berkembanglah suatu
kerja sama yang terbatas, terutama dalam penelaah ilmiah tentang penilaian
potensi pesantren.
Dalam
diskusi-diskusi para ilmuwan dan wartawan mengenai masalah bagaimana
melaksanakan proyek, mengiku sertakan sebagian penduduk desa secara lebih aktif
di dalam pembangunan pedesaan, pesantren mendapatkan perhatian yang baru.
Dialog yang selanjutnya berkembang antara rekan-rekan dalam lembaga ini dengan
para pimpinan pesantren juga kemudian telah dilaksanakan atas dasar pandangan
ini. Berulang kali dibahas kemungkinan-kemungkinan, peran dan kepentingan
pesantren akan suatu penyesuaian kegiatan pendidikan.
Spektrum Program
Pengembangan Desa
Struktur Organisasi
Kegiatan
pengembangan yang berorientasi pada masyarakat sebagai suatu perluasan yang
diciptakan secara tetap dari program pedagogi pesantren, maka suatu institusionalisasi
ada manfaatnya, karena alasan-alasan berikut Ziamek, 1986:222):
-
Pembuatan konsep secara
sistematis dan efisien serta pelaksanaan program aksi kegiatan akan meningkat,
jika para TPM memiliki fasilitas-fasilitas institusional yang khusus di pesantren
(secretariat, perpustakaan, ruang kerja, bengkel dan sebagainya).
-
Akan memudahkan
pesantren memanfaatkan tawaran bantuan organisasi ekstern dan menggunakan bagi
kegiatan pengembangan desa (baik jasa pemerintah, misalnya untuk bidang
kesehatan, pengembangan pertanian, bank, jasa informasi, perkoperasian maupun
lembaga swasta dan organisasi sponsor).
-
Sebagai
komponen-komponen baru kegiatan pendidikan pesantren, maka program yang
berorientasi pada masyarakat hendaknya secara institusional diintegrasikan pula
dan untuk disediakan ruangan-ruangan.
Di sebagian besar
pesantren, kegiatan yang berorientasi pada masyarakat masih belum sedemikian
rupa melembaga, sehingga sauna organisasi lainnya, seperti perhimpunan santri/
pelajar atau organisasi santri/ swadaya mengambil alih fungsi-fungsinya.
Spektrum program
mengenai masyarakat yang oleh kelompok-kelompok swadaya dapat dilaksanakan,
adalah besar sekali dan mencerminkan kebutuhan-kebutuhan dasar terpenting yang
dirasakan masyarakat sendiri dan meliputi (Ziamek, 1986:223):
-
Program yang
berorientasi pada pendapatan
-
Program yang
berorientasi pada kesehatan
-
Program yang
berorientasi pada lingkungan,
Dan seringkali menggunakan teknologi
yang cocok dengan keadaan masyarakat (teknologi tepat guna – teknologi desa).
Pembangunan
Produktifitas
Usaha
beraneka ragam di bidang ini meliputi langkah-langkah ekonomi yang langsung
menguntungkan rumah tangga dan perusahaan kecil, karena meningkatkan pendapatan
yang diterima atau tingkatan keperluan hidup mereka. Para anggota KSM saling
membantu dengan informasi dan menyelesaikan beberapa kegiatan perusahaan secara
bersama (misalnya pengadaan barang produksi, pupuk, insektisida, makanan hewan,
bibit atau pemasaran hasil produksi) (Ziamek, 1986:223).
Sektor-sektor
produksi meliputi (Ziamek, 1986: 223-224):
-
Bidang pertanian
(pengadaan bibit, pupuk, insektisida dan sebagainya)
-
Pemeliharaan ternak dan
unggas (ayam, itik, kambing, sapi)
-
Pemeliharaan Ikan
(usaha kolam dan pemeliharaan belut)
-
Industry rumah tangga
(kerajinan barang seni, makanan dan pembuatan minuman)
-
Perdagangan eceran
(perdagangan keliling)
Program Kesehatan
Program-program
pesantren yang berorientasi pada kesehatan tidak hanya terbatas pada bantuan
bila menderita sakit parah, melainkan dimulai dari pencegahannya, karena biaya
upaya pencegahan jauh lebih kecil daripada biaya pengobatan. Oleh sebab itu,
upaya telah dimulai dengan meringankan masalah yang berhubungan dengan makanan
(pemberian tambahan makanan kepada anak-anak yang kekurangan makanan),
perbaikan mutu makanan dengan mengadakan diet yang lebih bergizi dan berimbang
(Ziamek, 1986:226).
Tujuan
sebagian besar program swadaya adalah peningkatan penyediaan obat-obatan. Juga
penanaman tanaman obat-obatan tradisional di daerah pedesaan Jawa masih
dilakukan secara luas dan ditingkatkan. Usaha Kesehatan Masyarakat terdiri dari
paket-paket upaya yang berbeda. Pembangunan tempat-tempat penyimpanan
obat-obatan, dilaksanakan dalam hubungan dengan dinas kesehatan pemerintah
(puskesmas) pada tingkat kecamatan (Ziamek, 1986:226).
Program Pengembangan
Lingkungan
Di
Jawa yang sangat terancam bahaya erosi dan berpenduduk sangat padat, adanya
upaya melindungi lingkungan alam sangat besar artinya. Akan tetapi, kesadaran
umum penduduk pedesaan tentang perlunya perlindungan seluk beluk ekologi,
hamper tidak ada. Program-program pesantren dapat berpengaruh sangat besar
terhadap pembentukan opini. Upaya yang berorientasi pada masyarakat dan
dikemukakan di sini, berpusat dalam hubungan ini pada pelestarian dan
pemanfaatan ruang hidup yang langsung dan meliputi (Ziamek, 1986:228):
-
Program penghijauan
-
Perbaikan perumahan
(ventilasi, jendela, lantai bersih)
-
Usaha perkebunan
hortikultura dan pemanfaatannya.
Keistimewaan Program
yang Berorientasi pada Masyarakat
Usaha
pedagogis yang dikemukakan disini dari program pesantren yang berorientasi pada
masyarakat, merupakan bagian dari suatu pengertian baru yaitu suatu konsepsi
yang memberikan arti strategis paling utama kepada peranan kelompok-kelompok
swadaya sukarela bagi pengembangan daerah pedesaan yang terpadu dan
partisipatif (Ziamek, 1986:229).
Akhirnya,
penggabingan yang terkendalikan dari masing-masing program otonom
pesantren-pesantren yang ingin mempertahankan individualitas dan identitas
mereka, membawa permasalahan tersendiri dalam koordinasi dan integrasi. Oleh
sebab itu, usaha mengadakan penggabungan yang lebih kuat dan perluasan konsepsi
harus mendapat perhatian tersendiri (Ziamek, 1986:230).
Partisipasi Kelompok
Sasaran ke dalam Perencanaan dan Pelaksanaan
Partisipasi
kelompok sasaran mengandung tiga hal: partisipasi dalam pengambilan keputusan,
pelaksanaan dan hasil (Ziamek, 1986:231).
Oleh
karena dalam masyarakat tradisional dengan struktur paternalistic,
keputusan-keputusan yang mengikat dan berlaku umum biasanya diambil oleh para
pemimpin yang telah diakui dan dinyatakan dalam bentuk “permintaan”, “anjuran”
atau oleh kelakuan teladan, maka unuk menginginkan partisipasi kelompk-kelompok
yang berorientasi pada tradisi, perlu adanya keterlibatan para pemimpin yang
mewakili mereka.
Mengenai
kegiatan pesantren-pesantren yang berhubungan denan masyarakat, perlu
diperhatikan bahwa disini berlangsung proses-proses beberapa tingkat dan sebab
itu, kelompok-kelompok sasaran yang berbeda pula harus diberi motivasi untuk
berpartisipasi: untuk merangsang prakarsa pesantren agar turut serta mendapat
bantuan dari kelompok-kelompok swadaya desa, maka yang diperlukan pertama-tama
adalah pemberian motivasi kepada kyai atau guru-guru berusia muda yang
berpengaruh. Ia akan meyakinkan/ menganjurkan keada santri-santrinya dengan
argumentasi-argumentasi berdasarkan agama dan moral, dalam artian melakukan
kegiatan sesuai dengan program-program yang diinginkan (Ziamek, 1986:231).
Pada tahap kerja sama ini, rencana-rencana untuk
pengembangan pesantren telah diarahkan kepada kebutuhan-kebutuhan yang mereka
tentukan sendiri, jadi bertujuan mengatasi kendala-kendala yang oleh pesantren
dianggap sebagai prioritas. Dengan entry
point ini (entry point: sering kali berupa upaya perbaikan prasarana
pesantren di bidang penyediaan air, hygiene, pembangunan perpustakaan, dan
sebagainya) dimaksud, agar sejak awal melibatkan pimpinan pesantren dan
mengintensifkan komunikasi. Dengan demikian ada kemungkinan untuk saling
mengenal pandangan, keinginan, harapan dan kebutuhan masing-masing untuk
membatasi lingkungan kerja sama yang merupakan dasar bersama bagi
program-program kemudian. Bagi suatu kerja sama efektif dengan para kyai, guru
dan santri berpandangan maju, pemrakarsa proyek pertama-tama harus mengetahui
penilaian mereka mengenai kebutuhan-kebutuhan hidup pesantren serta mendapat
informasi tentang kendala-kendala obyektif dan subyektif (Ziamek, 1986: 233).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar