Rabu, 21 November 2012

Pondok Pesantren



Pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional Jawa dan Madura (Dhofier, 1982:16). Geertz berpendapat bahwa pesantren merupakan perkembangan dari sekolah-sekolah biara Hindu Budha (dalam Ziemek, 1986:101). Istilah pesantren secara lengkap adalah pondok pesantren yang berarti suatu bentuk pendidikan keIslaman yang melembaga di Indonesia (Ziemek,1986: 98). Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bamboo atau barangkali berasal dari kata Arab funduq yang berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri dengan imbuhan awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal para santri (Dhofier,1982:18). 
Pondok pesantren terdiri dari dua kata yaitu ”pondok” dan ”pesantren” yang keduanya itu sebenarnya mengandung arti yang sama dan maksud yang sama. Namun kebanyakan orang hanya menyebut salah satunya saja. Yaitu pondok atau pesantren saja. Tapi ada pula yang menyebutkan kedua-duanya secara bersamaan.
Dalam Kamus Ilmiah Populer yang ditulis oleh Burhani MS dan Hasbi Lawtens (tanpa tahun: 517) bahwa kata Pesantren berarti perguruan pegajian Islam. Ini berarti pesantren adalah suatu perguruan atau organisasi atau kelompok yang didalamnya terdapat pengajian tentang ajaran-ajaran Islam. Dimana pada umumnya pengajian adalah suatu kegiatan yang didalamnya ada seseorang yang disebut dengan kyai/ Da’i yang menyampaikan suatu kajian atau materu yang berhubugan dengan aharan-ajaran agama Islam yang diikuti dan di dengarkan oleh kaum muslimin khususnya.
Menurut Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (1997:99) bahwa kata peantren berasal dari  bahasa India Shastri  dari akar kata Shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang Ilmu Pengetahuan. Di luar pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatera Barat), Dayah (Aceh), dan Pondok untuk daerah lain.
Selaini itu Pesantren adalah tempat para santri belajar agama Islam dengan menerapkan moralitas Islam sebagai pedoman (Arman, 2001:17).
Unsur-unsur pondok pesantren adalah kiai sebagai pendiri, pelaksana dan guru, santri (pelajar) yang secara pribadi langsung diajar berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, faham, akidah keIslaman. Disini kiai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama membentuk suatu komunitas pengajar dan belajar yaitu pesantren bersifat asrama (Ziemek,1986:100-101).
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada perinsipnya yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang bernafaskan Islam dan menerapkan moralitas sebagai pedoman dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen tertentu yang menjadi ciri khas lembaga tersebut, yaitu kiai sebagai pengasuh sekaligus berperan sebagau pendidik, surau atau masjid sebagai sarana dan pusat peribadatan dan pendidikan. Santri sebagai peserta didik, pondok sebagai sarana tempat tinggal para santri.
Menurut Dhofier (1986:44) pesantren memiliki unsur-unsur antara lain pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai tempat ibadah dan pengajaran, kitab-kitab klasik sebagai mata pelajaran, santri atau pelajar dan kiai.
1.   Pondok
Pondok merupakan asrama untuk para santri atau siswa yang berada dalam lingkungan kompleks pesantren dimana kyai tinggal. Pondok merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain (Dhofier, 1986:44-45).
Pondok merupakan tempat tinggal kiai bersama para sanrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama dalam memebuhi kebutuhan sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awal perkembangannya, pondok tersebut bukanlah semata-mata sebagai tempat tingal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh Kiai, tetapi juga sebagai tempat training atau latihan bagi satri yang bersangkutan agar mampu hidup mandir dalam masyarakat para santri dibawah bimbingan kiai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesama warga pesantren. Tetapi dalam perkembangan berikutnya terutama pada masa sekarang, tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut (Hasbullah, 1995:142).
Pondok sebagai wadah pendidikan manusia seutuhnya sebagai operasionalisasi dan pendidikan yakni mendidik dan mengajar. Mendidik secara keluarga berlangsung di pondok sedang mengajarnya di kelas dan mushalla. Hal ini yang merupakan fase pembinaan dan peningkatan kualitas manusia sehingga ia bisa tampil sebagai kader masa depan oleh karena itu pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang pertama mengembangjan kungkungan hidup dalam arti kata pengembangan sumber daya manusia dari segi mentalnya (Ghazali, 2003:19-20).
2.   Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang Jum'at dan pengajaran kitab-kitan Islam klasik. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid dekat rumahnya (Dhofier,1986:49).
Masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat jamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasnya waktu belajar mengajar dalam pesantren berkaitan dengan waktu sholat berjamaah baik sebelumnya dan sesudahnya. Alam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan kusus untuk khalaqah-khalaqah perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian, masjid tetap digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian pesantren masjid juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan atau suluk dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Hasbullah, 1995:142-143).
Menurut Hasbullah (1995:136) bahwa secara garis besar fungsi surau dan masjid antara lain adalah sebagai tempat ibadah, dan sebagaitempat pendidikan dan pembudayaan, dan tempat penyelenggaraan urusan ummat.
3.   Pengajaran kitab-kitab klasik
Unsur lain yang cukup membedakan pesantren engan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dulanjutkan dengan kutab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1995:144).
Pengajaran kitab-kitab klasik terutama karangan ulama yang menganut faham Syafi'iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok yaitu nahwu dan sharaf, fiqih, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika serta cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah (Dhofier, 1986: 50).
Ada dua esensi seorang santri belajar kitab-kitab tersebut di samping mendalami isi kitab maka secara tidak langsung juga mempelajari bahasa arab sebagai bahasa kitab tersebut. Oleh karena itu seorang santri yang telah tamat belajarnya di pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa arab. Hal ini menjadi ciri khas seorang santri yang telah menyelesaikan studinya dipondok pesantren, yakni mampu memahami isi kitab dan sekaligus mempu menerapkan bahasa kitab tersebut menjadi bahasanya.
Sisi lain di samping tercapainya tujuan pegajaran yakni isi kitab dan bahaa arab dapat dikuasai, maka terdapat hubungan horizontal antara santri dan kiainya, yang mengakibatkan tertanamnya rasa kebersamaan antara sesama santri dan para kiai yang membimbing. Hal yang demikian itu menghilangkan kesan adanya sikap stratifikasi dalam pesantren yakni kiai sebagai yang dituakan dan santri merupakan yang diberikan pelajaran (Ghazali, 2003: 24).
4.   Santri
Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri biasanya berkaitan dengan keberadaan kyai dan pesantren (Ghazali, 2003: 22-23).
Ada beberapa definisi santri yang dikemukakan oleh para ahli antara lain, Profesor Johns yang berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji (dalam Dhofier, 1982:18). Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa santri berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Dhofier,1982:18). Menurut Geertz dalam Ziemek (1986: 99) pengertian santri mungkin diturunkan dari kata Sansekerta "Shastri" yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki arti sempit dan luas. Arti sempitnya ialah santri seorang pelajar sekolah agama yang disebut pondok pesantren. Dalam arti yang luas dan lebih umum kata santri mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang mneganut Islam dengan sungguh-sungguh yang sembahyang, pergi ke masjid pada hari Jumat dan sebagainya. Santri merupakan elemen penting bagi sebuah pesantren selain kiai.
Menurut Dhofier (1982:51-52) terdapat dua macam santri didalam dunia pesantren yaitu;
1.      Santri mukim yaitu santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompoktersendiri yang memegang kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar akan juga terdapat putera-putera kiai dari pesantren lain yang juga menjadi santri mukim di pesantren tersebut.
Ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri mukim, yaitu motif menuntut ilmu artinya seorang santri itu datang dengan maksud menuntut ilmu dari kiyainya, dan adanya motif menjunjung tinggi akhlak, artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut setelah di pesantren akan memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan akhlak kiainya.
2.      Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajaran di pesantren mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri. Sebuah pesantren besar didukung oleh semakin banyaknya santri yang mukim dalam pesantren du samping terdapat pula santri kalong yang tidak banyak jumlahnya.
Metode utama sistem pengajaran di pesantren menurut Dhofier (1986: 28-31) yaitu:
1.      bandongan atau weton: dalam sistem ini sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas sistem ini disebut halaqah atau lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar dibawah pimpinan seorang guru.
2.      sorogan: sistem ini merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan murid dalam menguasai bahasa Arab.
5.  Kiai
Menurut Dhofier (1982:55) perkataan kiai berasal dari bahasa Jawa dipakai untuk menyebut tiga jenis gelar yang berbeda yaitu pertama sebagai gelar kehormatan bagi barang yang dianggap keramat, kedua gelar kehormatan untuk orang-orang yang sudah tua pada umumnya,ketiga gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki serta menjadi pimpinan pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Gelar kiai juga diberikan kepada seseorang yang alim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar