Pesantren
merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional Jawa dan Madura
(Dhofier, 1982:16). Geertz berpendapat bahwa pesantren merupakan perkembangan
dari sekolah-sekolah biara Hindu Budha (dalam Ziemek, 1986:101). Istilah
pesantren secara lengkap adalah pondok pesantren yang berarti suatu bentuk
pendidikan keIslaman yang melembaga di Indonesia (Ziemek,1986: 98). Istilah
pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang
disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bamboo atau barangkali
berasal dari kata Arab funduq yang berarti hotel atau asrama. Perkataan
pesantren berasal dari kata santri dengan imbuhan awalan pe- dan akhiran –an
yang berarti tempat tinggal para santri (Dhofier,1982:18).
Pondok
pesantren terdiri dari dua kata yaitu ”pondok” dan ”pesantren” yang keduanya
itu sebenarnya mengandung arti yang sama dan maksud yang sama. Namun kebanyakan
orang hanya menyebut salah satunya saja. Yaitu pondok atau pesantren saja. Tapi
ada pula yang menyebutkan kedua-duanya secara bersamaan.
Dalam Kamus
Ilmiah Populer yang ditulis oleh Burhani MS dan Hasbi Lawtens (tanpa tahun:
517) bahwa kata Pesantren berarti perguruan pegajian Islam. Ini berarti
pesantren adalah suatu perguruan atau organisasi atau kelompok yang didalamnya
terdapat pengajian tentang ajaran-ajaran Islam. Dimana pada umumnya pengajian adalah
suatu kegiatan yang didalamnya ada seseorang yang disebut dengan kyai/ Da’i
yang menyampaikan suatu kajian atau materu yang berhubugan dengan aharan-ajaran
agama Islam yang diikuti dan di dengarkan oleh kaum muslimin khususnya.
Menurut Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam (1997:99) bahwa kata peantren berasal dari bahasa India Shastri dari akar kata Shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau
buku-buku tentang Ilmu Pengetahuan. Di luar pulau Jawa lembaga pendidikan
ini disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatera Barat), Dayah (Aceh),
dan Pondok untuk daerah lain.
Selaini itu
Pesantren adalah tempat para santri belajar agama Islam dengan menerapkan
moralitas Islam sebagai pedoman (Arman, 2001:17).
Unsur-unsur
pondok pesantren adalah kiai sebagai pendiri, pelaksana dan guru, santri
(pelajar) yang secara pribadi langsung diajar berdasarkan naskah-naskah Arab
klasik tentang pengajaran, faham, akidah keIslaman. Disini kiai dan santri
tinggal bersama-sama untuk masa yang lama membentuk suatu komunitas pengajar
dan belajar yaitu pesantren bersifat asrama (Ziemek,1986:100-101).
Dari beberapa
pendapat diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada perinsipnya yang
dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang bernafaskan
Islam dan menerapkan moralitas sebagai pedoman dimana di dalamnya terdapat
komponen-komponen tertentu yang menjadi ciri khas lembaga tersebut, yaitu kiai
sebagai pengasuh sekaligus berperan sebagau pendidik, surau atau masjid sebagai
sarana dan pusat peribadatan dan pendidikan. Santri sebagai peserta didik,
pondok sebagai sarana tempat tinggal para santri.
Menurut
Dhofier (1986:44) pesantren memiliki unsur-unsur antara lain pondok atau asrama
sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai tempat ibadah dan
pengajaran, kitab-kitab klasik sebagai mata pelajaran, santri atau pelajar dan
kiai.
1. Pondok
Pondok
merupakan asrama untuk para santri atau siswa yang berada dalam lingkungan
kompleks pesantren dimana kyai tinggal. Pondok merupakan ciri khas tradisi
pesantren yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di
masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain
(Dhofier, 1986:44-45).
Pondok
merupakan tempat tinggal kiai bersama para sanrinya. Adanya pondok sebagai
tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama dalam
memebuhi kebutuhan sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan
yang berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung santri-santri
yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awal perkembangannya,
pondok tersebut bukanlah semata-mata sebagai tempat tingal atau asrama para
santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh Kiai, tetapi
juga sebagai tempat training atau
latihan bagi satri yang bersangkutan agar mampu hidup mandir dalam masyarakat
para santri dibawah bimbingan kiai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesama warga
pesantren. Tetapi dalam perkembangan berikutnya terutama pada masa sekarang,
tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan
setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok
tersebut (Hasbullah, 1995:142).
Pondok sebagai
wadah pendidikan manusia seutuhnya sebagai operasionalisasi dan pendidikan
yakni mendidik dan mengajar. Mendidik secara keluarga berlangsung di pondok
sedang mengajarnya di kelas dan mushalla. Hal ini yang merupakan fase pembinaan
dan peningkatan kualitas manusia sehingga ia bisa tampil sebagai kader masa
depan oleh karena itu pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
pertama mengembangjan kungkungan hidup dalam arti kata pengembangan sumber daya
manusia dari segi mentalnya (Ghazali, 2003:19-20).
2. Masjid
Masjid
merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang Jum'at dan pengajaran
kitab-kitan Islam klasik. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah
pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid dekat rumahnya
(Dhofier,1986:49).
Masjid
dijadikan sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang
merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat
melakukan sholat jamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat
belajar mengajar. Biasnya waktu belajar mengajar dalam pesantren berkaitan
dengan waktu sholat berjamaah baik sebelumnya dan sesudahnya. Alam perkembangannya,
sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, dibangun
tempat atau ruangan-ruangan kusus untuk khalaqah-khalaqah perkembangan terakhir
menunjukkan adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang
terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian, masjid tetap digunakan sebagai
tempat belajar mengajar. Pada sebagian pesantren masjid juga berfungsi sebagai
tempat i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan atau suluk dan dzikir, maupun
amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Hasbullah,
1995:142-143).
Menurut
Hasbullah (1995:136) bahwa secara garis besar fungsi surau dan masjid antara
lain adalah sebagai tempat ibadah, dan sebagaitempat pendidikan dan
pembudayaan, dan tempat penyelenggaraan urusan ummat.
3. Pengajaran
kitab-kitab klasik
Unsur lain
yang cukup membedakan pesantren engan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa
pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang oleh para ulama terdahulu,
mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran
dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dulanjutkan dengan
kutab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren
dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang diajarkan
(Hasbullah, 1995:144).
Pengajaran
kitab-kitab klasik terutama karangan ulama yang menganut faham Syafi'iyah,
merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren. Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan
kedalam 8 kelompok yaitu nahwu dan sharaf, fiqih, usul fiqh, hadis, tafsir,
tauhid, tasawuf dan etika serta cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah
(Dhofier, 1986: 50).
Ada dua esensi
seorang santri belajar kitab-kitab tersebut di samping mendalami isi kitab maka
secara tidak langsung juga mempelajari bahasa arab sebagai bahasa kitab
tersebut. Oleh karena itu seorang santri yang telah tamat belajarnya di
pesantren cenderung memiliki pengetahuan bahasa arab. Hal ini menjadi ciri khas
seorang santri yang telah menyelesaikan studinya dipondok pesantren, yakni
mampu memahami isi kitab dan sekaligus mempu menerapkan bahasa kitab tersebut
menjadi bahasanya.
Sisi lain di
samping tercapainya tujuan pegajaran yakni isi kitab dan bahaa arab dapat
dikuasai, maka terdapat hubungan horizontal antara santri dan kiainya, yang
mengakibatkan tertanamnya rasa kebersamaan antara sesama santri dan para kiai
yang membimbing. Hal yang demikian itu menghilangkan kesan adanya sikap
stratifikasi dalam pesantren yakni kiai sebagai yang dituakan dan santri
merupakan yang diberikan pelajaran (Ghazali, 2003: 24).
4. Santri
Istilah santri
hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang
haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kyai yang memimpin sebuah
pesantren. Oleh karena itu santri biasanya berkaitan dengan keberadaan kyai dan
pesantren (Ghazali, 2003: 22-23).
Ada beberapa
definisi santri yang dikemukakan oleh para ahli antara lain, Profesor Johns
yang berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti
guru mengaji (dalam Dhofier, 1982:18). Sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa
santri berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang
yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang ahli kitab suci agama Hindu.
Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku
suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan
(Dhofier,1982:18). Menurut Geertz dalam Ziemek (1986: 99) pengertian santri
mungkin diturunkan dari kata Sansekerta "Shastri" yang berarti
ilmuwan Hindu yang pandai menulis yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki
arti sempit dan luas. Arti sempitnya ialah santri seorang pelajar sekolah agama
yang disebut pondok pesantren. Dalam arti yang luas dan lebih umum kata santri
mengacu pada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang mneganut Islam dengan
sungguh-sungguh yang sembahyang, pergi ke masjid pada hari Jumat dan
sebagainya. Santri merupakan elemen penting bagi sebuah pesantren selain kiai.
Menurut
Dhofier (1982:51-52) terdapat dua macam santri didalam dunia pesantren yaitu;
1. Santri mukim yaitu santri yang berasal dari daerah yang
jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama
tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompoktersendiri yang
memegang kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab
mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam
sebuah pesantren yang besar akan juga terdapat putera-putera kiai dari
pesantren lain yang juga menjadi santri mukim di pesantren tersebut.
Ada dua motif seorang santri menetap sebagai santri
mukim, yaitu motif menuntut ilmu artinya seorang santri itu datang dengan
maksud menuntut ilmu dari kiyainya, dan adanya motif menjunjung tinggi akhlak,
artinya seorang santri belajar secara tidak langsung agar santri tersebut
setelah di pesantren akan memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan akhlak
kiainya.
2. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari
desa-desa di sekeliling pesantren yang biasanya tidak menetap dalam pesantren.
Untuk mengikuti pelajaran di pesantren mereka bolak-balik dari rumahnya
sendiri. Sebuah pesantren besar didukung oleh semakin banyaknya santri yang mukim
dalam pesantren du samping terdapat pula santri kalong yang tidak banyak
jumlahnya.
Metode utama
sistem pengajaran di pesantren menurut Dhofier (1986: 28-31) yaitu:
1. bandongan atau weton: dalam sistem ini sekelompok murid
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan
seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas sistem
ini disebut halaqah atau lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar
dibawah pimpinan seorang guru.
2. sorogan: sistem ini merupakan bagian yang paling sulit
sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi
dari murid. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan
membimbing secara maksimal kemampuan murid dalam menguasai bahasa Arab.
5. Kiai
Menurut Dhofier (1982:55) perkataan kiai berasal dari
bahasa Jawa dipakai untuk menyebut tiga jenis gelar yang berbeda yaitu pertama
sebagai gelar kehormatan bagi barang yang dianggap keramat, kedua
gelar kehormatan untuk orang-orang yang sudah tua pada umumnya,ketiga
gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki
serta menjadi pimpinan pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik
kepada para santrinya. Gelar kiai juga diberikan kepada seseorang yang alim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar